Semasa kuliah dulu, saya sering punya guyonan lucu. Bukan apa –apa, karena saya tipe orang aneh kata teman –teman, jalan pikiran saya kadang – kadang bikin orang yang mendengarnya terperangah. Seberapa anehkah saya ? Nggak segitu anehnya sih, saya cuma suka baca buku sastra, puisi dan filsafat ‘pop’ ( dibilang pop karena saya suka yang instant dan tak berbelit – belit ), agak penyendiri tapi juga nggak kuper – kuper amat、penggemar berat kartun Jepang, punya banyak teman laki – laki yang statusnya bukan pacar saya dan sedikit tomboy.
Bagi para jomblowati, hari sabtu adalah sebuah siksaan, maksudnya, jadi korban ledekan teman – teman yang sudah duluan pergi kencan bersama pacar. Sementara buat saya sabtu malam atau malam lainnya sama saja, karena meskipun saya punya pacar tapi jarang kencan. Pacaran cuma lewat surat dan telpon, pokoknya jadul ( jaman dulu ) banget. Bertemu sekali setahun pun sudah bagus. Ini point tambahan yang membuat saya disebut orang aneh. Karena cuma Kahlil Gibran dan May Ziadah yang punya gaya pacaran seperti saya dan bertahan sampai seumur hidup mereka. Sabtu malam merupakan malam produktif saya, karena saat itulah saya bisa ngapain saja, menulis di kamar atau membaca buku , mendengarkan para jomblowati berkeluh kesah kenapa sampai detik itu belum juga punya pacar, yang punya pacar dan kebetulan sedang berantem sesekali curhat pada saya, kalau lagi banyak duit surfing dan chatting di warnet kampus.
Kata saya, sebenarnya, ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, saat itu juga kita punya kepentingan dengannya. Jadi sama dengan politik, semakin banyak kepentingan semakin kita mencintainya. Pendapat saya ini tentu saja memperoleh banyak sanggahan, bahkan salah seorang teman melempar bantal ke arah saya ( untung cuma bantal, bukan pisau ). Saya juga tidak mempercayai adanya cinta abadi di dunia karena yang benar adalah kepentingan abadi. Cinta kok dipolitisir, gitu kata teman saya. Tapi bener kan ?.. Cinta abadi cuma milik Tuhan kepada hambaNya ( vice versa ).
Waktu itu saya meledek salah seorang teman saya. Waktu masih jomblowati dia ingin punya pacar yang bisa nganterin dia kemana saja, lumayan ngirit ongkos dan punya pengawal gratis. Maka dia jadian dengan si pacar yang bersedia nganter jemput seperti supir pribadi. Ternyata lama – lama temen saya ini bete juga karena biarpun sang pacar super duper setia si pacar juga seorang pencemburu berat. Si pacar mau nganter jemput karena dia pengen tahu banget dengan siapa temen saya bergaul, berantemnya sering karena ternyata temen saya punya banyak teman laki – laki walaupun mereka benar – benar cuma teman biasa, lagipula ternyata si pacar adalah tipe anak manis yang agaknya kurang cocok bergaul dengan temannya teman saya. Akhirnya mereka putus.
Ada juga teman lain yang pacaran karena yakin si pacar yang bisa menyelamatkan dia dari kecanduan rokok. Kebetulan teman cewek satu ini agak badung karena memang berasal dari keluarga broken home. Untung si pacar baik hati jadi teman saya ini nggak dimainin.
Saya mengenal seseorang yang sudah punya misi dan visi ke depan waktu masih pacaran.
Mungkin aneh, karena teman lain pas pacaran cuma melulu mengurusi masalah romantisme, tapi dia sudah berbagi misi dan visi ke depan. Demi misi dan visinya dia membutuhkan cewek yang tough, tahan banting dan mandiri meski dengan kemampuan akademik rata - rata. Katanya, dia suka cewek yang bisa dibawa hidup susah ( walah… ) dan nggak risih kalau di ajak nongkrong di angkringan.
Mungkin aneh, karena teman lain pas pacaran cuma melulu mengurusi masalah romantisme, tapi dia sudah berbagi misi dan visi ke depan. Demi misi dan visinya dia membutuhkan cewek yang tough, tahan banting dan mandiri meski dengan kemampuan akademik rata - rata. Katanya, dia suka cewek yang bisa dibawa hidup susah ( walah… ) dan nggak risih kalau di ajak nongkrong di angkringan.
Cinta dan nafsu kadangkala susah dibedakan dan cinta terlalu mudah terkikis bersama perjalanan waktu apalagi cinta yang tumbuh dari ketertarikan fisik, dia berpendapat bahwa cinta bukanlah lem perekat yang erat untuk sebuah hubungan. Kesamaan misi dan visi itu yang lebih utama. Kalau kalian bertanya padanya apakah dia mencintai pasangannya maka dia akan garuk – garuk kepala setengah bingung. We prepared the marriage not the wedding.
No comments:
Post a Comment