Tempat berlibur favorit saya adalah pantai, entah itu pantai yang tenang, landai berpasir putih ataupun pantai terjal berbatu karang dengan ombak ganas menghempas. Keduanya sama menariknya buat saya.
Di sana, saya bisa bermain menyongsong gelombang dan membiarkan ombak memukul kaki – kaki saya, atau duduk melamun di puncak karang terjal sambil merasakan ombak menghantam batu karang dan saya pun basah dengan percik – percik airnya.
Seorang anak kecil yang terkurung dalam raga seorang dewasa, begitu seseorang menyebut saya, bila saya sudah bertemu laut. Saya bisa lupa waktu bermain air, bahkan saya pernah nyaris hanyut terbawa gelombang di pantai Watu Ulo Jember ketika SMP, namun saya malah tenang – tenang saja membiarkan diri saya terbawa arus. Sok yakin bahwa Tuhan belum menginginkan saya mati ditelan laut.
Saya pernah terkesan dengan keindahan pantai Kukup Yogya dan nyaris tertinggal bis, ketika rombongan studi banding kampus akan kembali ke Surabaya, waktu itu sekitar tahun 1998. Suasana pantai menjelang sore dan agak mendung, ombak pantai selatan yang menanjak tinggi memecah karang – karang sebelum akhirnya menyerah di pelukan pantai, menerpa lembut jemari kaki saya. Sambil melempari laut dengan bebatuan dan sesekali memunguti kerang – kerang saya menikmati pantai itu dengan sepenuh hati, lupa dengan kawan – kawan dan tidak merasa bila ada seseorang yang memperhatikan saya, melihat saya dengan pandangan aneh, mungkin menganggap saya orang gila akut, bersimpuh di hadapan samudra dan cakrawala. Tahun itu saya mengunjungi tiga pantai sekaligus yaitu pantai Baron, Krakal dan Kukup. Ketiganya masih lumayan alami, karena kebanyakan pantai yang saya kunjungi telah menjadi area bermain dunia fantasi lengkap dengan fasilitas olahraga air dan restoran. Saya rindu pantai yang masih asli, di mana saya bisa duduk tenang menikmatinya, bermain gelombangnya, merasakan hembusan anginnya dan mendengar suara pekik camar.
Laut, selalu menerbitkan rasa penasaran saya, ada apa di dalamnya ( tentu saja ikan! kata teman – teman saya ), namun saya merasa seperti ada kekuatan magis di dasarnya yang membuat saya betah berlama – lama memandanginya. Laut menurut saya adalah benda mati yang hidup. Satu waktu bergejolak, lalu tenang menghanyutkan. Pantai adalah labuhan. Namun seperti cobaan dan kebahagiaan, ombak selalu datang dan pergi seolah menakar kadar ketegaran pantai dan karang – karangnya. Seperti manusia pula, pantai memiliki berbagai macam karakter dan keunikan.
Laut tak lagi ramah sekarang, sejak beberapa waktu yang lalu laut seperti bergejolak dengan ombaknya yang tinggi di atas rata - rata, menyapu daratan dengan ganas dan menenggelamkan rumah – rumah penduduk di sekitar pantai. Memangkas habis impian saya memiliki rumah mungil di tepi pantai. Semua orang menyalahkan musim, cuaca buruk dan efek global warming. Tapi tak pernah menyalahkan dirinya yang merupakan komponen utama penyebab global warming.
Lepas dari semua itu, saya masih punya sedikit harapan, memiliki tempat tinggal yang dekat dengan pantai, sehingga kapanpun saya ingin bermain gelombang saya bisa datang kapan saja, tanpa menunggu hari libur panjang.
Di sana, saya bisa bermain menyongsong gelombang dan membiarkan ombak memukul kaki – kaki saya, atau duduk melamun di puncak karang terjal sambil merasakan ombak menghantam batu karang dan saya pun basah dengan percik – percik airnya.
Seorang anak kecil yang terkurung dalam raga seorang dewasa, begitu seseorang menyebut saya, bila saya sudah bertemu laut. Saya bisa lupa waktu bermain air, bahkan saya pernah nyaris hanyut terbawa gelombang di pantai Watu Ulo Jember ketika SMP, namun saya malah tenang – tenang saja membiarkan diri saya terbawa arus. Sok yakin bahwa Tuhan belum menginginkan saya mati ditelan laut.
Saya pernah terkesan dengan keindahan pantai Kukup Yogya dan nyaris tertinggal bis, ketika rombongan studi banding kampus akan kembali ke Surabaya, waktu itu sekitar tahun 1998. Suasana pantai menjelang sore dan agak mendung, ombak pantai selatan yang menanjak tinggi memecah karang – karang sebelum akhirnya menyerah di pelukan pantai, menerpa lembut jemari kaki saya. Sambil melempari laut dengan bebatuan dan sesekali memunguti kerang – kerang saya menikmati pantai itu dengan sepenuh hati, lupa dengan kawan – kawan dan tidak merasa bila ada seseorang yang memperhatikan saya, melihat saya dengan pandangan aneh, mungkin menganggap saya orang gila akut, bersimpuh di hadapan samudra dan cakrawala. Tahun itu saya mengunjungi tiga pantai sekaligus yaitu pantai Baron, Krakal dan Kukup. Ketiganya masih lumayan alami, karena kebanyakan pantai yang saya kunjungi telah menjadi area bermain dunia fantasi lengkap dengan fasilitas olahraga air dan restoran. Saya rindu pantai yang masih asli, di mana saya bisa duduk tenang menikmatinya, bermain gelombangnya, merasakan hembusan anginnya dan mendengar suara pekik camar.
Laut, selalu menerbitkan rasa penasaran saya, ada apa di dalamnya ( tentu saja ikan! kata teman – teman saya ), namun saya merasa seperti ada kekuatan magis di dasarnya yang membuat saya betah berlama – lama memandanginya. Laut menurut saya adalah benda mati yang hidup. Satu waktu bergejolak, lalu tenang menghanyutkan. Pantai adalah labuhan. Namun seperti cobaan dan kebahagiaan, ombak selalu datang dan pergi seolah menakar kadar ketegaran pantai dan karang – karangnya. Seperti manusia pula, pantai memiliki berbagai macam karakter dan keunikan.
Laut tak lagi ramah sekarang, sejak beberapa waktu yang lalu laut seperti bergejolak dengan ombaknya yang tinggi di atas rata - rata, menyapu daratan dengan ganas dan menenggelamkan rumah – rumah penduduk di sekitar pantai. Memangkas habis impian saya memiliki rumah mungil di tepi pantai. Semua orang menyalahkan musim, cuaca buruk dan efek global warming. Tapi tak pernah menyalahkan dirinya yang merupakan komponen utama penyebab global warming.
Lepas dari semua itu, saya masih punya sedikit harapan, memiliki tempat tinggal yang dekat dengan pantai, sehingga kapanpun saya ingin bermain gelombang saya bisa datang kapan saja, tanpa menunggu hari libur panjang.
No comments:
Post a Comment