Waktu kecil, saya memiliki tempat main favorit yang lain daripada yang lain. Bukan lapangan tapi pemakaman. Jangan bayangkan dulu makam yang angker dan mencekam seperti dalam cerita horor Jeruk Purut atau Kuntilanak. Makam di dekat tempat tinggal saya dulu jauh dari kesan angker ( kecuali malam hari karena bagaimanapun makam kan serem juga kalau malam ). Pemakaman tersebut berada di tengah pemukiman penduduk, tepat di kelilingi oleh rumah – rumah penduduk kampung dan berada di dekat pasar.
Ada satu pohon Sono besar di tengah pemakaman tersebut yang entah seperti mengandung magnit, membuat saya dan beberapa teman sebaya betah bermain di bawah kerindangan daun – daunnya. Ada makam yang sudah di tembok di bawahnya, jadi kami para bocah suka duduk manis di sana sambil membaca komik atau bersenda gurau. Kadang – kadang saya malah membawa komik favorit saya Superman atau Si Deni Manusia Ikan dan menghabiskan istirahat siang hingga sore di sana. Nenek sudah hafal dengan kebiasaan aneh saya, jadi kalo hingga sore saya belum pulang, pasti ada di bawah pohon itu. Kecuali saat musim kemarau waktu para ulat menggerogoti daun – daunnya hingga membuat pohon besar itu nyaris gundul.
Kadang – kadang saya melamun sambil menulis buku harian dan selama itu pula saya tak pernah kesambit atau kesurupan roh halus. Kadang – kadang keteduhannya dan angin yang semilir bikin saya ngantuk. Rasanya saya betah berada di situ. Dari sana pula saya suka memperhatikan makam kedua orang tua yang kebetulan memang tak jauh dari pohon itu. Ada banyak cerita yang mengatakan pohon itu angker, tapi selama saya main di situ saya ndak pernah bertemu dengan hal – hal yang aneh seperti hantu atau jin. Bahkan bila malam dan saya terpaksa melewati makam itu ketika pulang pergi ke tempat les bahasa Inggris saya tidak pernah melihat perempuan berbaju putih, berambut panjang atau kakek – kakek di bawah pohon tersebut. Malah kadang – kadang saya melihat beberapa pemuda mabuk , merokok dan main kartu di sana pada malam hari.
Ada pengalaman lucu ketika pada suatu siang saya menemukan makanan sesajian yang terdiri dari tumpeng kecil lengkap dengan lauk pauknya plus jajan pasar. Waktu itu saya dan teman – teman sedang bermain, lalu tiba – tiba datang seorang laki – laki yang meletakkan tumpeng dan jajan pasar di bawah pohon. Saya dan teman – teman hanya memandang saja dari jarak beberapa meter, melihat orang tersebut komat – kamit berdoa lalu meninggalkan makanan itu begitu saja di sana. Ternyata ada juga orang yang menganggap pohon tersebut keramat dan bertuah. Saya hanya berpikir, mubazir amat makanan seenak itu dibiarkan saja di bawah pohon, paling – paling dimakan ayam atau kambing yang sering berkeliaran di makam ini. Namun kemudian datang serombongan pemuda kampung dan sambil tertawa cekikikan antara sesama mereka, mencomot makanan itu dan membaginya. Saya dan teman – teman hanya bisa menonton mereka menikmati nasi kuning dan lauk ayam goreng, sempat ditawari namun kami agak takut dan menolaknya.
Mungkin karena sering dipakai acara ritual yang tidak jelas, akhirnya tetua kampung memutuskan untuk menebang pohon tersebut. Saya sedih karena akan kehilangan tempat ‘nyepi’ dan bermain. Karena tidak ada satu pun yang berani menebang ( takut kualat kata mereka ), akhirnya seseorang memutuskan untuk membakar pohon itu mulai dari akar hingga batang agar musnah selamanya ( wah hebat, yang usul beginian tidak takut kualat ). Perlahan –lahan, pohon itu pun mati terbakar, sebagian batangnya menghitam menjadi arang, batang yang tidak ikut terbakar dibiarkan begitu saja hingga pohon itu akhirnya mati.
Sebagai ganti pohon tersebut, orang – orang kampung menanam pohon yang netral, artinya kalaupun nanti menjadi besar tidak akan di keramatkan orang – orang, maka selain pohon Kamboja ( pohon wajib di makam ), penduduk menanaminya pohon waru, beberapa pohon singkong di pinggiran makam dan sisanya adalah rerumputan. Memang, akhirnya makam itu tak lagi dikeramatkan, namun upacara sambil menyediakan sesajen pindah ke makam sebelah yang justru dikultuskan karena makam itu adalah makam nenek moyang yang membuka daerah perkampungan ini pertama kali, entah Mbah siapa namanya.
Sampai dewasa kini, saya masih sering memimpikan pohon itu masih berada di tengah pemakaman tersebut.. Karena saya tahu, bukan salah pohon itu bila harus ditebang, namun salah orang – orang yang mengkeramatkannya.
Ada satu pohon Sono besar di tengah pemakaman tersebut yang entah seperti mengandung magnit, membuat saya dan beberapa teman sebaya betah bermain di bawah kerindangan daun – daunnya. Ada makam yang sudah di tembok di bawahnya, jadi kami para bocah suka duduk manis di sana sambil membaca komik atau bersenda gurau. Kadang – kadang saya malah membawa komik favorit saya Superman atau Si Deni Manusia Ikan dan menghabiskan istirahat siang hingga sore di sana. Nenek sudah hafal dengan kebiasaan aneh saya, jadi kalo hingga sore saya belum pulang, pasti ada di bawah pohon itu. Kecuali saat musim kemarau waktu para ulat menggerogoti daun – daunnya hingga membuat pohon besar itu nyaris gundul.
Kadang – kadang saya melamun sambil menulis buku harian dan selama itu pula saya tak pernah kesambit atau kesurupan roh halus. Kadang – kadang keteduhannya dan angin yang semilir bikin saya ngantuk. Rasanya saya betah berada di situ. Dari sana pula saya suka memperhatikan makam kedua orang tua yang kebetulan memang tak jauh dari pohon itu. Ada banyak cerita yang mengatakan pohon itu angker, tapi selama saya main di situ saya ndak pernah bertemu dengan hal – hal yang aneh seperti hantu atau jin. Bahkan bila malam dan saya terpaksa melewati makam itu ketika pulang pergi ke tempat les bahasa Inggris saya tidak pernah melihat perempuan berbaju putih, berambut panjang atau kakek – kakek di bawah pohon tersebut. Malah kadang – kadang saya melihat beberapa pemuda mabuk , merokok dan main kartu di sana pada malam hari.
Ada pengalaman lucu ketika pada suatu siang saya menemukan makanan sesajian yang terdiri dari tumpeng kecil lengkap dengan lauk pauknya plus jajan pasar. Waktu itu saya dan teman – teman sedang bermain, lalu tiba – tiba datang seorang laki – laki yang meletakkan tumpeng dan jajan pasar di bawah pohon. Saya dan teman – teman hanya memandang saja dari jarak beberapa meter, melihat orang tersebut komat – kamit berdoa lalu meninggalkan makanan itu begitu saja di sana. Ternyata ada juga orang yang menganggap pohon tersebut keramat dan bertuah. Saya hanya berpikir, mubazir amat makanan seenak itu dibiarkan saja di bawah pohon, paling – paling dimakan ayam atau kambing yang sering berkeliaran di makam ini. Namun kemudian datang serombongan pemuda kampung dan sambil tertawa cekikikan antara sesama mereka, mencomot makanan itu dan membaginya. Saya dan teman – teman hanya bisa menonton mereka menikmati nasi kuning dan lauk ayam goreng, sempat ditawari namun kami agak takut dan menolaknya.
Mungkin karena sering dipakai acara ritual yang tidak jelas, akhirnya tetua kampung memutuskan untuk menebang pohon tersebut. Saya sedih karena akan kehilangan tempat ‘nyepi’ dan bermain. Karena tidak ada satu pun yang berani menebang ( takut kualat kata mereka ), akhirnya seseorang memutuskan untuk membakar pohon itu mulai dari akar hingga batang agar musnah selamanya ( wah hebat, yang usul beginian tidak takut kualat ). Perlahan –lahan, pohon itu pun mati terbakar, sebagian batangnya menghitam menjadi arang, batang yang tidak ikut terbakar dibiarkan begitu saja hingga pohon itu akhirnya mati.
Sebagai ganti pohon tersebut, orang – orang kampung menanam pohon yang netral, artinya kalaupun nanti menjadi besar tidak akan di keramatkan orang – orang, maka selain pohon Kamboja ( pohon wajib di makam ), penduduk menanaminya pohon waru, beberapa pohon singkong di pinggiran makam dan sisanya adalah rerumputan. Memang, akhirnya makam itu tak lagi dikeramatkan, namun upacara sambil menyediakan sesajen pindah ke makam sebelah yang justru dikultuskan karena makam itu adalah makam nenek moyang yang membuka daerah perkampungan ini pertama kali, entah Mbah siapa namanya.
Sampai dewasa kini, saya masih sering memimpikan pohon itu masih berada di tengah pemakaman tersebut.. Karena saya tahu, bukan salah pohon itu bila harus ditebang, namun salah orang – orang yang mengkeramatkannya.
No comments:
Post a Comment