Salah satu pertanyaan menggelitik seorang teman setelah membaca blog saya adalah mengapa tema blog saya adalah soul therapy, apakah karena sang penulis adalah ahli jiwa yang kerap menyembuhkan banyak pasien sampai – sampai buka praktik on line ? ( hehehe ) atau malah si penulis adalah mantan penderita sakit jiwa yang mencoba share dengan orang lain ? Dengan bercanda saya menjawab karena penulisnya ‘gila’ bukan mantan gila, karena kalau sudah mantan berarti saya akan berhenti menulis. Saya butuh tetap gila agar tetap bisa menulis. Teman kerja ada yang menyebut kegilaan saya sudah ‘stadium 4’. Maklum saja saya harus meladeni customer yang super cerewet yang maunya serba perfect, sehingga di akhir hari biasanya saya sudah kusut dan stress.
Saya memang suka menulis sejak kecil, namun untuk mengirimnya ke media massa menurut saya terlalu rumit, mesti melalui seleksi dan kalau tidak memenuhi kriteria harus rela menghuni keranjang sampah dewan redaksi yang terhormat. Karena itu saya menciptakan blog yang ‘gue banget’ tanpa harus khawatir di sensor atau dikatakan ‘nggak mutu banget’. Toh tujuan utama saya menulis bukan untuk mencari ketenaran, uang atau mendapat kritik dari kritikus sastra dan ahli media. Namun lebih untuk proses ‘katarsis’ dan menerapi jiwa saya sendiri. Di dalam kamus, katarsis artinya proses untuk melepaskan perasaan yang kuat melalui kegiatan seni sebagai salah satu jalan untuk keluar dari kemarahan, kesedihan, penderitaan dan lain – lain.
Saya penggemar berat acara talk show yang dipandu oleh Oprah Winfrey melalui stasiun TV favorit saya Metro TV. Di sana para peserta yang diwawancarai kebanyakan adalah warga biasa yang tentu saja ndak terkenal seperti Tom Cruise atau Julia Robert atau George Clooney. Memang dalam beberapa episode ada selebrity yang di wawancarai, namun kebanyakan adalah warga biasa dengan masalah – masalah mereka yang dianggap memiliki kasus istimewa semacam kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kelaparan, korban perang dari sebuah negara, atau seseorang yang cacat namun mampu mandiri yang tentu saja semua itu membuat kita terinspirasi untuk menjadi orang yang selalu bersyukur dan berbuat lebih baik kepada sesama. Peserta yang membuat saya terkesan adalah seorang penulis pemula yang sebenarnya tidak memiliki background sebagai penulis, dia adalah seorang ibu rumah tangga biasa, namun kekerasan yang menimpanya justru membuatnya tegar dan mendorongnya untuk menulis dengan tujuan agar orang lain tidak mengalami kejadian yang sama dan bagaimana menjadi ibu yang kuat bila akhirnya kita terpaksa menghadapinya. Seorang terapis yang turut hadir bersamanya menyarankan dia untuk menulis, setiap kali dia merasa sedih, teraniaya, sendiri, bahkan ketika ada sedikit kebahagiaan ketika ada teman – teman dan keluarga yang mendukung. Akhirnya curahan hatinya menjadi sebuah buku yang kemudian diterbitkan. Salah satu buku yang saya ingat judulnya adalah The Silent Partner.
Saya tertegun, saya jadi ingat almarhum nenek saya, waktu kecil saya adalah anak yang susah dikendalikan, disuruh tidur siang malah main, dikurung malah berhasil melarikan diri dan ketika pulang siap untuk dihukum. Teman main saya kebanyakan laki – laki karena saya selalu berantem dengan teman perempuan. Pemberontakan – pemberontakan kecil saya tersebut memang bermula dari ketidakmampuan saya menerima kenyataan, bahwa ketika sebagian besar teman saya masih memiliki ayah dan ibu, namun saya tidak dan saya tidak memiliki jawaban yang cukup memuaskan untuk ukuran anak seusia 7 – 8 tahun mengapa ayah dan ibu meninggal dunia. Di makam pun kerap saya tak mengerti mengapa orang – orang berdoa di depan gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama orang yang meninggal.
Nenek saya nyaris putus asa karena saya selalu berantem dengan teman – teman perempuan. Lalu suatu siang saya dikurung di kamar bersamanya, lalu beliau memutar musik klasik Beethoven, memberi saya kertas dan pensil, menyuruh saya menulis, menggambar, apa saja. Beliau duduk di depan saya, menunggu. Saya mencoret, menulis, menggambar, apa saja dan ternyata justru kegiatan tersebut mengasyikkan. Lama – lama saya jadi agak malas main keluar. Siang hari, saya lebih suka berada di dalam kamar ( dengan musik ajaib Beethoven ) menulis, itu awal saya memiliki buku harian ( saya merasa seolah – olah Tuhan mendengar semua keluh kesah saya melalui tulisan saya ). Saya menulis apa saja, kesedihan saya, kegembiraan saya, harapan dan doa saya bahkan saya menulis cerita teman – teman saya. Sesekali saya memang keluar main, namun tidak lagi seliar dulu. Ketika nenek menyerahkan saya kepada ustadz untuk belajar mengaji saya tidak lagi protes.
Kalau ingat saat itu, saya jadi berterima kasih kepada nenek yang telah berusaha keras untuk ’menyembuhkan’ saya. Setiap kali saya ingin menjadi ’pemberontak’ seperti dulu, saya melampiaskannya dengan menulis.
Saya memang awam tentang ilmu jiwa, psikologi dan hal – hal yang berhubungan dengan terapi jiwa, namun saya berharap, dengan menulis pengalaman –pengalaman saya termasuk beberapa kisah perjalanan saya, yang membacanya bisa merasa terhibur, syukur kalo ternyata bisa memberikan inspirasi dan motivasi. Saran seorang teman yang ingin blog saya memuat banyak artikel tentang motivasi diri juga saya dengarkan, meski belum sempat saya posting ke blog.
Thanks a lot guys………
Saya memang suka menulis sejak kecil, namun untuk mengirimnya ke media massa menurut saya terlalu rumit, mesti melalui seleksi dan kalau tidak memenuhi kriteria harus rela menghuni keranjang sampah dewan redaksi yang terhormat. Karena itu saya menciptakan blog yang ‘gue banget’ tanpa harus khawatir di sensor atau dikatakan ‘nggak mutu banget’. Toh tujuan utama saya menulis bukan untuk mencari ketenaran, uang atau mendapat kritik dari kritikus sastra dan ahli media. Namun lebih untuk proses ‘katarsis’ dan menerapi jiwa saya sendiri. Di dalam kamus, katarsis artinya proses untuk melepaskan perasaan yang kuat melalui kegiatan seni sebagai salah satu jalan untuk keluar dari kemarahan, kesedihan, penderitaan dan lain – lain.
Saya penggemar berat acara talk show yang dipandu oleh Oprah Winfrey melalui stasiun TV favorit saya Metro TV. Di sana para peserta yang diwawancarai kebanyakan adalah warga biasa yang tentu saja ndak terkenal seperti Tom Cruise atau Julia Robert atau George Clooney. Memang dalam beberapa episode ada selebrity yang di wawancarai, namun kebanyakan adalah warga biasa dengan masalah – masalah mereka yang dianggap memiliki kasus istimewa semacam kasus pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, kelaparan, korban perang dari sebuah negara, atau seseorang yang cacat namun mampu mandiri yang tentu saja semua itu membuat kita terinspirasi untuk menjadi orang yang selalu bersyukur dan berbuat lebih baik kepada sesama. Peserta yang membuat saya terkesan adalah seorang penulis pemula yang sebenarnya tidak memiliki background sebagai penulis, dia adalah seorang ibu rumah tangga biasa, namun kekerasan yang menimpanya justru membuatnya tegar dan mendorongnya untuk menulis dengan tujuan agar orang lain tidak mengalami kejadian yang sama dan bagaimana menjadi ibu yang kuat bila akhirnya kita terpaksa menghadapinya. Seorang terapis yang turut hadir bersamanya menyarankan dia untuk menulis, setiap kali dia merasa sedih, teraniaya, sendiri, bahkan ketika ada sedikit kebahagiaan ketika ada teman – teman dan keluarga yang mendukung. Akhirnya curahan hatinya menjadi sebuah buku yang kemudian diterbitkan. Salah satu buku yang saya ingat judulnya adalah The Silent Partner.
Saya tertegun, saya jadi ingat almarhum nenek saya, waktu kecil saya adalah anak yang susah dikendalikan, disuruh tidur siang malah main, dikurung malah berhasil melarikan diri dan ketika pulang siap untuk dihukum. Teman main saya kebanyakan laki – laki karena saya selalu berantem dengan teman perempuan. Pemberontakan – pemberontakan kecil saya tersebut memang bermula dari ketidakmampuan saya menerima kenyataan, bahwa ketika sebagian besar teman saya masih memiliki ayah dan ibu, namun saya tidak dan saya tidak memiliki jawaban yang cukup memuaskan untuk ukuran anak seusia 7 – 8 tahun mengapa ayah dan ibu meninggal dunia. Di makam pun kerap saya tak mengerti mengapa orang – orang berdoa di depan gundukan tanah dengan batu nisan bertuliskan nama orang yang meninggal.
Nenek saya nyaris putus asa karena saya selalu berantem dengan teman – teman perempuan. Lalu suatu siang saya dikurung di kamar bersamanya, lalu beliau memutar musik klasik Beethoven, memberi saya kertas dan pensil, menyuruh saya menulis, menggambar, apa saja. Beliau duduk di depan saya, menunggu. Saya mencoret, menulis, menggambar, apa saja dan ternyata justru kegiatan tersebut mengasyikkan. Lama – lama saya jadi agak malas main keluar. Siang hari, saya lebih suka berada di dalam kamar ( dengan musik ajaib Beethoven ) menulis, itu awal saya memiliki buku harian ( saya merasa seolah – olah Tuhan mendengar semua keluh kesah saya melalui tulisan saya ). Saya menulis apa saja, kesedihan saya, kegembiraan saya, harapan dan doa saya bahkan saya menulis cerita teman – teman saya. Sesekali saya memang keluar main, namun tidak lagi seliar dulu. Ketika nenek menyerahkan saya kepada ustadz untuk belajar mengaji saya tidak lagi protes.
Kalau ingat saat itu, saya jadi berterima kasih kepada nenek yang telah berusaha keras untuk ’menyembuhkan’ saya. Setiap kali saya ingin menjadi ’pemberontak’ seperti dulu, saya melampiaskannya dengan menulis.
Saya memang awam tentang ilmu jiwa, psikologi dan hal – hal yang berhubungan dengan terapi jiwa, namun saya berharap, dengan menulis pengalaman –pengalaman saya termasuk beberapa kisah perjalanan saya, yang membacanya bisa merasa terhibur, syukur kalo ternyata bisa memberikan inspirasi dan motivasi. Saran seorang teman yang ingin blog saya memuat banyak artikel tentang motivasi diri juga saya dengarkan, meski belum sempat saya posting ke blog.
Thanks a lot guys………
No comments:
Post a Comment