Dia cantik ( meski tak terlalu pintar ) punya segalanya, orang tua kaya yang agak keningrat-ningratan ( sering kuanggap rumahnya yang megah itu panggung ketoprak tertutup buat umum ), punya sopir setia dan pembantu yang patuh. Dia salah satu dari sekian banyak teman biasaku, tak ada yang dekat atau terlalu dekat. Aku yang punya prinsip ‘trust noone’ lebih suka menganggap mereka sekedar numpang lewat dalam kehidupanku, tak punya kekuasaan untuk mengatur aku. Anehnya mereka menganggapku sahabat, teman berbagi rasa meski aku tak pernah membagi rasa yang kupunya dengan mereka.
Teman-teman biasaku itu sering menceritakan masalah-masalah mereka seolah aku ini psikiater dan konsultan perkawinan yang handal, ahli menyelesaikan masalah. Kadang aku bosan, tapi mau gimana lagi ? Aku toh makhluk sosial dan so’sial yang butuh gaul dengan orang lain dalam frekuensi yang tak terlalu sering, meski aku selalu berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.
Kawanku bercerita hanya Tuhan yang perwujudan-Nya bisa kulihat di mana saja, di gunung, laut, pantai, pohon, matahari, bulan, bintang bahkan pada secangkir kopi, perantara kesembuhan sakit migrenku.
Perempuan cantik itu bernama Tiara, seperti namanya, kesan elegan dan mahal terpancar dari tingkah laku yang dipoles dengan aturan tata krama yang telah digariskan oleh leluhurnya. Katanya perempuan tak boleh tertawa ngakak, nggak boleh pakai jeans belel dan sepatu kets, mesti tinggal di dalam rumah, jalannya harus anggun bak peragawati, bicaranya harus pelan dan sopan, tidak boleh berteriak , kudu nurut orang tua biar nggak kualat dan kalau berteman harus lihat bobot bebet bibit apalagi kalau nyari pacar bla bla bla. Cuma acara pencarian bobot bebet bibit ini jadi lebih condong ke dia anaknya siapa ? kaya nggak ? tinggal di real estate atau RSSS ? punya gelar apa ?. Dijamin laki-laki tak bermodal tak akan berani mendekati Tiara.
Seluruh hidupnya telah digariskan oleh kedua orang tuanya seperti petugas protokoler ngatur presiden, mulai bangun tidur hingga tidur lagi Tiara tak punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri, selalu dianggap seperti anak kecil yang harus dilindungi, rapuh dan tak tahu apa-apa tentang hidup dan kehidupan ( unfortunately, mereka tak pernah mengajarkan hidup dan kehidupan itu sendiri ). Aku pun tak habis pikir bahkan Tuhan pun membebaskan hamba-Nya untuk memilih kehidupan macam apa yang diinginkannya. Kemanapun Tiara pergi harus selalu diantar, tidak boleh keluar rumah sembarangan bahkan untuk nonton konser musik klasik bersamaku pun harus melalui birokrasi yang maha sulit. Kutanyakan padanya kenapa ayahnya tak menyewa centeng atau bodyguard saja, Tiara hanya angkat bahu sambil nyengir.
" Kalaupun ayahku menyewa centeng, dia harus sekeren Kevin Costner", begitu candanya membayangkan si Whitney Houston dan Kevin Costner dalam film "The Bodyguard".
Aku sedang membaca buku di perpustakaan kampus yang sunyi ketika Tiara tiba-tiba muncul dan duduk di sebelahku. Tiga jilid buku tebal tertumpuk di meja bekal weekend. Sabtu malam aku lebih suka membaca buku, menulis puisi atau melamun bergumul dengan duniaku sendiri atau sesekali ke warnet chatting .
"Kau tak ada date nanti malam ?’, tanya Tiara sambil membolak-balik halaman sebuah buku tanpa selera.
" Kau tahu aku selalu sendiri", sahutku santai.
"Juan ?", tanyanya lagi.
Sejenak melintas di benakku wajah teroris nan cakep, si blasteran Spanyol, Juan, mahasiswa pendatang yang kebetulan murid Bahasa Indonesiaku itu..
"Weekend gini dia pasti sudah nongkrong di atas motornya, pergi entah ke mana dan Bahasa Indonesianya sudah cukup bagus untuk cari cewek. Tolong dicatat, dia bukan teman kencanku", aku menegaskan. Banyak perempuan di kampus ini yang mendambakan jadi pacar Juan, tapi yang jelas aku bukan satu dari mereka.
"Acara malam minggumu ? Disekap ibumu lagi, ya ?", tanyaku setelah melihat raut muka Tiara yang mirip baju minus setrika. Kusut.
"Seperti biasa dan aku selalu bosan di rumah. Selalu begini, harus begitu, itu nggak boleh, ini saru. Paling-paling nemenin nyokap belanja", keluhnya.
"Well, madame apa yang bisa kubantu?"
"Bantu aku lari dari rumah!". Mataku membulat tak percaya.
"Aku ingin kebebasan "
Dalam hati aku ketawa ngakak, burung kecil yang elegan itu merasa pengap dalam sangkar indahnya. Kebebasan macam apa yang diinginkannya ?
Satu waktu Tiara pernah berkata padaku kalau dia ingin sepertiku, bisa naik gunung, bepergian ke mana pun seperti yang aku mau, lari-lari mengejar bis ke kampus, bisa pulang malam ( padahal itu karena aku kerja part time usai kuliah ), kencan dengan pacar tersayang yang kupilih sendiri, nongkrong dengan teman-teman….
"Dan kekurangan duit, hahaha…", aku menyela mimpi-mimpinya tentang kebebasan. Keinginannya tadi adalah sesuatu yang wajar menurutku, tapi perundang-undangan yang berlaku di rumahnya melarang Tiara untuk melakukan itu semua. Kasihan.
"Aku mau minggat ! Pergi dari rumah !". Kali ini tampaknya Tiara tengah berada di puncak kekesalannya.
"Pergi kemana, Ra ?", tanyaku tak yakin Tiara mampu meninggalkan istananya. Tiara tak biasa hidup susah, selalu dilayani mulai dari nyisir rambut sampai hal kecil lainnya. Terbiasa makan enak, tidur di kasur empuk dan mahal serta liburan di tempat elit. Bisa kubayangkan kalau ia minggat, barangkali ia akan check-in di hotel mewah berbintang komplet dengan spa, salon kecantikan dan mall buat shopping. Ikut aku berpetualang atau pulang ke desa kakekku? I’m not sure kakinya yang sekecil lidi kuat menapaki bukit terjal yang biasa kudaki. Kulitnya yang halus dan bersih terawat karena rajin luluran dan mandi rempah tahan dengan panas matahari dan debu jalanan.
Apakah Tiara bisa kuajak makan di angkringan, makan mie ayam menikmati teh botol dingin sambil mengamati orang yang lalu lalang ? apa Tiara kuat memanggul ransel dan berjalan jauh sementara selama ini kemanapun dia pergi selalu diantar sopir ? Tiara seperti hidup dalam dunia mimpi. Putri dalam dongeng. Kadang aku iri juga, betapa enaknya bisa ongkang-ongkang kaki di rumah, segala fasilitas ada, tidak seperti aku yang harus kerja sambilan agar bisa melanjutkan kuliah. Masih kuingat dengan jelas Tiara hampir menangis ketika ibunya mengancam mencabut uang saku dan segala fasilitas ketika ketahuan pacaran dengan laki-laki bukan pilihan orang tuanya. Poor Tiara.
Dalam hati aku mengumpat panjang pendek. Kalau begitu buat apa mengeluh ingin bebas dari kekangan orang tuanya namun tak berani menjalani hidup yang nggak simpel dan manis seperti yang berlaku di istananya, semuanya tinggal perintah tinggal minta, selalu ingin dilayani bak ratu. Tiara tak kenal kondisi tidak ada atau tidak punya, apa yang dimintanya selalu dituruti. Bukannya aku ingin mengajarinya melawan orang tuanya atau menjadi pemberontak, tapi setidaknya Tiara mampu memperjuangkan keinginannya, her own life. Bahwa Tiara bukan boneka. Awalnya Tiara tak menyukai perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya tapi toh akhirnya dia pasrah menerima karena calonnya ternyata ganteng, kaya raya, pinter, lulusan college bonafide di negeri ini dan berasal dari kalangan terhormat ( begitu mudahkah cinta di rekayasa ?)
Tiara tak beranjak dari tempatnya. Menanti jawaban dari sekian pertanyaan. Mengapa dia harus berbeda dari yang lain ? mengapa kebebasan yang sangat diinginkannya menjadi sangat mahal ? benarkah kebebasan yang dibutuhkan Tiara ?
Tiara membuatku bertanya-tanya, berjuta pertanyaan memenuhi ruang otakku yang tak seberapa besar ini. Tiara membuatku berpikir tentang arti kebebasan yang sesungguhnya. Seperti biasanya pikiranku melompat-lompat kadang-kadang keluar dari dimensi ruang dan waktu di mana kini aku berada. Apakah kebebasan itu seperti yang dikatakan Matt bahwa kita boleh melakukan segala hal sekehendak hati asal hati senang ? Do what you want to do, Do what you can do, Do everything that make you happy.
"Barangkali kita memang tak pernah bebas, Tiara. Hidup kita sebenarnya selalu terikat dengan aspek yang ada di sekitar kita baik yang kasat mata maupun tidak. Kita hidup di sangkar yanng maha luas bernama semesta. Kita di atur oleh sangkar abstrak bernama norma, nilai-nilai moral, ajaran agama dan sebagainya. Sutradara besar itu, Tuhan Yang maha Kuasa juga Maha arif dan Bijaksana memberikan pilihan kepada para pemainnya untuk berimprovisasi, memilih dialog dan gerak yang harus dilakukan sejauh tidak menyimpang dari skenario yang telah digariskan. Tuhan memberi kita pilihan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan cara yang baik dan buruk.
"Tapi kau memilikinya, Runa ". Protes Tiara.
"Kau pun memilikinya Tiara, hanya saja tak pernah kau sadari. Kau mendapatkan apapun yang kau inginkan meski ada satu dua permintaan yang tak terkabulkan. Akupun begitu. Percayalah, Tuhan Maha Tahu yang terbaik untukmu".
Tiara nampak tak puas dan meninggalkan aku kembali sendiri di kesunyian perpustakaan kampus. Tiara, aku pun jadi takut membayangkan bahwa sebenarnya kebebasan itu tak pernah ada.
***
Teman-teman biasaku itu sering menceritakan masalah-masalah mereka seolah aku ini psikiater dan konsultan perkawinan yang handal, ahli menyelesaikan masalah. Kadang aku bosan, tapi mau gimana lagi ? Aku toh makhluk sosial dan so’sial yang butuh gaul dengan orang lain dalam frekuensi yang tak terlalu sering, meski aku selalu berusaha menyelesaikan masalahku sendiri.
Kawanku bercerita hanya Tuhan yang perwujudan-Nya bisa kulihat di mana saja, di gunung, laut, pantai, pohon, matahari, bulan, bintang bahkan pada secangkir kopi, perantara kesembuhan sakit migrenku.
Perempuan cantik itu bernama Tiara, seperti namanya, kesan elegan dan mahal terpancar dari tingkah laku yang dipoles dengan aturan tata krama yang telah digariskan oleh leluhurnya. Katanya perempuan tak boleh tertawa ngakak, nggak boleh pakai jeans belel dan sepatu kets, mesti tinggal di dalam rumah, jalannya harus anggun bak peragawati, bicaranya harus pelan dan sopan, tidak boleh berteriak , kudu nurut orang tua biar nggak kualat dan kalau berteman harus lihat bobot bebet bibit apalagi kalau nyari pacar bla bla bla. Cuma acara pencarian bobot bebet bibit ini jadi lebih condong ke dia anaknya siapa ? kaya nggak ? tinggal di real estate atau RSSS ? punya gelar apa ?. Dijamin laki-laki tak bermodal tak akan berani mendekati Tiara.
Seluruh hidupnya telah digariskan oleh kedua orang tuanya seperti petugas protokoler ngatur presiden, mulai bangun tidur hingga tidur lagi Tiara tak punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri, selalu dianggap seperti anak kecil yang harus dilindungi, rapuh dan tak tahu apa-apa tentang hidup dan kehidupan ( unfortunately, mereka tak pernah mengajarkan hidup dan kehidupan itu sendiri ). Aku pun tak habis pikir bahkan Tuhan pun membebaskan hamba-Nya untuk memilih kehidupan macam apa yang diinginkannya. Kemanapun Tiara pergi harus selalu diantar, tidak boleh keluar rumah sembarangan bahkan untuk nonton konser musik klasik bersamaku pun harus melalui birokrasi yang maha sulit. Kutanyakan padanya kenapa ayahnya tak menyewa centeng atau bodyguard saja, Tiara hanya angkat bahu sambil nyengir.
" Kalaupun ayahku menyewa centeng, dia harus sekeren Kevin Costner", begitu candanya membayangkan si Whitney Houston dan Kevin Costner dalam film "The Bodyguard".
Aku sedang membaca buku di perpustakaan kampus yang sunyi ketika Tiara tiba-tiba muncul dan duduk di sebelahku. Tiga jilid buku tebal tertumpuk di meja bekal weekend. Sabtu malam aku lebih suka membaca buku, menulis puisi atau melamun bergumul dengan duniaku sendiri atau sesekali ke warnet chatting .
"Kau tak ada date nanti malam ?’, tanya Tiara sambil membolak-balik halaman sebuah buku tanpa selera.
" Kau tahu aku selalu sendiri", sahutku santai.
"Juan ?", tanyanya lagi.
Sejenak melintas di benakku wajah teroris nan cakep, si blasteran Spanyol, Juan, mahasiswa pendatang yang kebetulan murid Bahasa Indonesiaku itu..
"Weekend gini dia pasti sudah nongkrong di atas motornya, pergi entah ke mana dan Bahasa Indonesianya sudah cukup bagus untuk cari cewek. Tolong dicatat, dia bukan teman kencanku", aku menegaskan. Banyak perempuan di kampus ini yang mendambakan jadi pacar Juan, tapi yang jelas aku bukan satu dari mereka.
"Acara malam minggumu ? Disekap ibumu lagi, ya ?", tanyaku setelah melihat raut muka Tiara yang mirip baju minus setrika. Kusut.
"Seperti biasa dan aku selalu bosan di rumah. Selalu begini, harus begitu, itu nggak boleh, ini saru. Paling-paling nemenin nyokap belanja", keluhnya.
"Well, madame apa yang bisa kubantu?"
"Bantu aku lari dari rumah!". Mataku membulat tak percaya.
"Aku ingin kebebasan "
Dalam hati aku ketawa ngakak, burung kecil yang elegan itu merasa pengap dalam sangkar indahnya. Kebebasan macam apa yang diinginkannya ?
Satu waktu Tiara pernah berkata padaku kalau dia ingin sepertiku, bisa naik gunung, bepergian ke mana pun seperti yang aku mau, lari-lari mengejar bis ke kampus, bisa pulang malam ( padahal itu karena aku kerja part time usai kuliah ), kencan dengan pacar tersayang yang kupilih sendiri, nongkrong dengan teman-teman….
"Dan kekurangan duit, hahaha…", aku menyela mimpi-mimpinya tentang kebebasan. Keinginannya tadi adalah sesuatu yang wajar menurutku, tapi perundang-undangan yang berlaku di rumahnya melarang Tiara untuk melakukan itu semua. Kasihan.
"Aku mau minggat ! Pergi dari rumah !". Kali ini tampaknya Tiara tengah berada di puncak kekesalannya.
"Pergi kemana, Ra ?", tanyaku tak yakin Tiara mampu meninggalkan istananya. Tiara tak biasa hidup susah, selalu dilayani mulai dari nyisir rambut sampai hal kecil lainnya. Terbiasa makan enak, tidur di kasur empuk dan mahal serta liburan di tempat elit. Bisa kubayangkan kalau ia minggat, barangkali ia akan check-in di hotel mewah berbintang komplet dengan spa, salon kecantikan dan mall buat shopping. Ikut aku berpetualang atau pulang ke desa kakekku? I’m not sure kakinya yang sekecil lidi kuat menapaki bukit terjal yang biasa kudaki. Kulitnya yang halus dan bersih terawat karena rajin luluran dan mandi rempah tahan dengan panas matahari dan debu jalanan.
Apakah Tiara bisa kuajak makan di angkringan, makan mie ayam menikmati teh botol dingin sambil mengamati orang yang lalu lalang ? apa Tiara kuat memanggul ransel dan berjalan jauh sementara selama ini kemanapun dia pergi selalu diantar sopir ? Tiara seperti hidup dalam dunia mimpi. Putri dalam dongeng. Kadang aku iri juga, betapa enaknya bisa ongkang-ongkang kaki di rumah, segala fasilitas ada, tidak seperti aku yang harus kerja sambilan agar bisa melanjutkan kuliah. Masih kuingat dengan jelas Tiara hampir menangis ketika ibunya mengancam mencabut uang saku dan segala fasilitas ketika ketahuan pacaran dengan laki-laki bukan pilihan orang tuanya. Poor Tiara.
Dalam hati aku mengumpat panjang pendek. Kalau begitu buat apa mengeluh ingin bebas dari kekangan orang tuanya namun tak berani menjalani hidup yang nggak simpel dan manis seperti yang berlaku di istananya, semuanya tinggal perintah tinggal minta, selalu ingin dilayani bak ratu. Tiara tak kenal kondisi tidak ada atau tidak punya, apa yang dimintanya selalu dituruti. Bukannya aku ingin mengajarinya melawan orang tuanya atau menjadi pemberontak, tapi setidaknya Tiara mampu memperjuangkan keinginannya, her own life. Bahwa Tiara bukan boneka. Awalnya Tiara tak menyukai perjodohan yang telah diatur oleh keluarganya tapi toh akhirnya dia pasrah menerima karena calonnya ternyata ganteng, kaya raya, pinter, lulusan college bonafide di negeri ini dan berasal dari kalangan terhormat ( begitu mudahkah cinta di rekayasa ?)
Tiara tak beranjak dari tempatnya. Menanti jawaban dari sekian pertanyaan. Mengapa dia harus berbeda dari yang lain ? mengapa kebebasan yang sangat diinginkannya menjadi sangat mahal ? benarkah kebebasan yang dibutuhkan Tiara ?
Tiara membuatku bertanya-tanya, berjuta pertanyaan memenuhi ruang otakku yang tak seberapa besar ini. Tiara membuatku berpikir tentang arti kebebasan yang sesungguhnya. Seperti biasanya pikiranku melompat-lompat kadang-kadang keluar dari dimensi ruang dan waktu di mana kini aku berada. Apakah kebebasan itu seperti yang dikatakan Matt bahwa kita boleh melakukan segala hal sekehendak hati asal hati senang ? Do what you want to do, Do what you can do, Do everything that make you happy.
"Barangkali kita memang tak pernah bebas, Tiara. Hidup kita sebenarnya selalu terikat dengan aspek yang ada di sekitar kita baik yang kasat mata maupun tidak. Kita hidup di sangkar yanng maha luas bernama semesta. Kita di atur oleh sangkar abstrak bernama norma, nilai-nilai moral, ajaran agama dan sebagainya. Sutradara besar itu, Tuhan Yang maha Kuasa juga Maha arif dan Bijaksana memberikan pilihan kepada para pemainnya untuk berimprovisasi, memilih dialog dan gerak yang harus dilakukan sejauh tidak menyimpang dari skenario yang telah digariskan. Tuhan memberi kita pilihan bagaimana kita menjalani hidup ini dengan cara yang baik dan buruk.
"Tapi kau memilikinya, Runa ". Protes Tiara.
"Kau pun memilikinya Tiara, hanya saja tak pernah kau sadari. Kau mendapatkan apapun yang kau inginkan meski ada satu dua permintaan yang tak terkabulkan. Akupun begitu. Percayalah, Tuhan Maha Tahu yang terbaik untukmu".
Tiara nampak tak puas dan meninggalkan aku kembali sendiri di kesunyian perpustakaan kampus. Tiara, aku pun jadi takut membayangkan bahwa sebenarnya kebebasan itu tak pernah ada.
***
1 comment:
Ass.wr.wb,
Manusia...udh jadi sifat manusia kali ya mbak...
Sebenarnya bebas itu banyak maknanya menurutku dimana setiap orang punya persepsi masing-masing.
Seperti Tiara bisa jadi dia bebas finansial dimana semua kebutuhan materi bisa tercukupi mau apa aja pasti bisa tapi haiiii...rupanya kebebebasan batin dia merasa tak ada.
Kalo orang Jawa bilang sawang sinawang. Every people has own problem, dimana bisa jadi menurut orang lain itu bukan suatu problem tapi menurut kita problem.
Bisa jadi ya ketika kita bersyukur kita bisa merasakan "kebebasan"...apapun kebebasan itu :-)...Karena sebenarnya bebas yang sebebasnya itu bisa jadi ndak ada, karena beberapa aturan atau norma baik yang tertulis maupun yang tidak :-)
Keep smile...nice story mbak Tri...:-)
Wassalam,
Post a Comment