Pemesanan Produk Oriflame :
Hubungi saya, NIKEN via SMS/Whatsapp Msg di 085643172023, Telp : 08885210403

Cara Order : SMS kan nama atau kode barang dan jumlah beserta alamat pengiriman. Jumlah total pembayaran termasuk ongkir akan diinformasikan.

Barang yang dipesan akan dikirim sesuai alamat yang anda berikan setelah melakukan transfer melalui rek BCA.

Harga berubah sesuai Katalog terbaru.

#KELUHAN TENTANG PEMAKAIAN PRODUK YANG DIBELI SELAINDAI BLOG, SILAHKAN DITUJUKAN KE COSTUMER CARE ORIFLAME CABANG TERDEKAT

Thursday 29 November 2007

Bintang dan Kegelapan

Kadang-kadang kalau sedang nggak ada kerjaan aku sering berpikir sambil memandang bintang dan kegelapan di atas sana. Mana yang lebih berarti dari mereka ? Bintang atau kegelapan itu ?
Pikiranku nakal melompat-lompat seperti bocah ingusan bermain dalam hujan. Barangkali bintang itu tak memerlukan kegelapan karena apapun yang terjadi bintang tetaplah bintang, bersinar karena punya kemampuan mengeluarkan cahayanya sendiri ( meski tak terlihat pada siang hari karena matahari yang angkuh itu ). Kupikir kegelapan tak memerlukan bintang untuk membuatnya lebih berarti. Kegelapan membuat kita menghargai sekecil apapun cahaya.
Kemudian aku beralih memikirkan dia. Seorang laki-laki biasa yang kutemui tanpa peristiwa yang luar biasa. Ia menyapaku, memperkenalkan diri dan berceloteh tentang pantai, karang dan semiotik, Cahiril Anwar, Gibran dan bla bla bla, mengganggu kesendirianku di pantai itu, tiga tahun yang lalu. Anehnya aku menatapnya penuh kekaguman ( tanpa bermaksud memasukkannya ke dalam hatiku ), melayani ajakannya berdiskusi. Dia semakin dekat denganku. Mungkin karena aku membiarkannya masuk begitu saja seperti bonek, supporter bola yang sering masuk ke stadion tanpa tiket lalu berteriak seenaknya memekakkan telinga. Dia memang bukan bonek, tak hobi nonton bola dan tak suka berteriak, tapi kehadirannya tanpa permisi telah mengubah hari-hariku yang kelabu dan selalu sedih menjadi lain ( atau malah lebih berantakan ? ).
Akhir-akhir ini aku sering memikirkannya. Lebih sering dari biasanya. Lazimnya aku memikirkan dia sangat bangun tidur pagi hari, sedikit waktu kala jam makan siang kantor dan semenit menjelang tidur. Kadang-kadang aku menelpon, mengirimi email atau membalas suranya via pos. Tapi kali ini lain. Aku sangat memikirkannya. Bukan rindu seperti biasanya, juga bukan untuk membayangkan senyumnya yang memabukkan atau bahunya tempat aku bersandar bila aku mulai ngantuk dan lelah dengan beban pekerjaan yang berat dan menjemukan. Bukan.
Pekerjaan “memikirkan dia lebih dari biasa” itu mulai kulakukan setelah pada suatu petang di sebuah kafe dia berkata padaku “aku ingin melamarmu jadi istriku”. Datar, sedatar juru masak ganteng di televisi mengatakan ‘setelah angkat, tiriskan..”. Entah apa maksudnya berkata dengan nada sedatar itu, apakah dia hendak mempermainkan aku, aku tak yakin. Dan aku tak tahu harus menjawab apa, tampangnya polos, jauh dari romantis dan aku tersenyum bodoh seperti gadis ingusan. Kemudian hari-hari berlalu tanpa ada jawaban yang pasti dariku. Kami tak sering bertemu, perjumpaanku dengannya tak pernah lebih dari jumlah jadi tangan, hanya surat-suratnya yang makin memenuhi kotak penyimpan surat. Aku selalu menyediakan tempat khusus untuk surat-suratnya.
Aku mencintainya ? Kurasa memang benar aku mencintainya. Aku menerima segala kelebihan dan kekurangannya seperti halnya dia menerimaku apa adanya, aku memberinya semangat dan perhatian, menemaninya, setidaknya aku ingat tanggal kelahirannya, hobinya, teman-teman dekatnya dan lain-lain.
Bagaimana ku mencintainya ? Itu juga sungguh tak bisa kumengerti, segalanya berjalan begitu saja seperti artis sinetron yang berimprovisasi tanpa menghiraukan skenario yang dibikin. Spontan. Kurasa dia juga demikian.
Yang kini kupikirkan adalah apakah aku membutuhkan dia ? Kadang-kadang egoku sering mengatakn ‘kau tak membutuhkan siapapun termasuk laki-laki itu”. Tapi sisi keperempuan-an ku yang lemah berbisik “kau membutuhkannya” Dan bila egoku yang menang aku akan membayangkan diriku seperti Xena, cewek jagoan yang perkasa dan berani menghadapi lawan-lawannya yang kebanyakan berjenis kelamin laki-laki seorang diri. Tak berminat pada seks dan kewajiban bereproduksi, walau dalam salah satu episode Xena dikisahkan memiliki anak hasil hubungan dengan Ares, si dewa perang Yunani. Dan aku suka sekali membayangkan diriku seperti Xena , bukan karena aku bisa memainkan peadang, melempar cakram ataupun menendang lawannya yang kebanyakan kaum adam itu, tapi semangat, kemandirian dan kemampuannya bertahan hidup.
Sejak kecil aku telah kehilangan kedua orang tua. Bapak dan ibuku meninggal dunia dalam selisih waktu yang tidak terlalu lama. Saat itu aku baru berumur lima tahun. Bagiku itu adalah kehilangan cinta yang terbesar dalam hidupku. Bertahun lamanya aku mencoba bertahan menerima kenyataan ini. Kuanggap ini adalah sebagian dari kekuranganku.
Berpikir kembali tentang Xena, tentang “the independent woman” , “apakah aku harus menikah ?” membuatku berpikir tentang alasan kebanyakan orang memilih menikah daripada melajang. Karena cinta ? Bagaimana kalau suatu saat nanti aku tak lagi mencintainya dan diapun lelah mencintaiku ? Karena kesamaan minat ? Kalau suatu hari kami berbeda pendapat dan tak lagi sejalan, apakah perkawinan kami dapat dipertahankan ? Karena aku membutuhkannya ?Sebagai apa ? Pelindung ? Bodyguard ? Yang akan menjagaku dari segala marabahaya ? Sebagai suami yang memberiku nafkah lahir dan batin ?. Aku kan bisa cari duit sendiri, aku toh bisa menjaga diri, tapi aku tak cukup punya nyali untuk menjadi seorang lesbian ! Ataukah perkawinan hanya sekedar pemuasan kebutuhan “itu”, lalu perselingkuhan akan merajalela dengan dalih pasanganya tak pernah bisa berhasil memuaskan hasratnya.
Dan bila khayalanku tentang Xena mulai kumat, aku akan dengan angkuh menolak ajakannya, tak membalas surat-suratnya, tak menelepon atau berlagak dingin kalau dia menelepon, tak mengiriminya email, menyingkirkan foto dan barang-barang yang mengingatkanku padanya. Tapi aku masih berusaha menjaga perasaanya meski aku harus mengiriminya greeting dengan rasa rindu yang hambar. Menyibukkan diri dengan pekerjaan hingga larut malam atau menerima ajakan nonton atau lunch teman pria sekantor. Benar-benar independent. Aku pun biasa mengambil keputusan sendiri. Perselingkuhan ? Kurasa tidak. Aku tak pernah memberi kepastian sikap pada teman-teman pria yang mengajakku pergi, aku lebih suka berjalan apa adanya tanpa harus mengikatkan diri denganku, terserah, setelah ini dia mengajak teman lain. It’s oke, I have my own life.
Suatu saat aku merasa rapuh, mungkin kali ini sisi ke-perempuan-anku yang berbicara. Aku membutuhkan dia ketika aku mulai lelah dan kesal dengan beban pekerjaan dan orang-orang yang menyebalkan yang sering menikamku dari belakang seperti pengecut berwajah malaikat. Dia selalu menghiburku, selalu ada di saat aku membutuhkannya, menyayangiku dengan kasihnya yang berlimpah. Kadang-kadang dia seperti orang tua yang bijaksana memberiku beragam petuah yang anehnya selalu aku turuti. Kadang-kadang dia seperti seorang ustadz yang sering berkotbah tiap hari jum’at menunjukkan jalan ke surga. Tapi dia juga bisa seperti seorang teman yang baik, mendengarkan keluhanku, memberiku solusi dan kadang-kadang materi. Kalau sudah begitu aku akan setengah mati merindukannya, meneleponnya, mengiriminya email dan sebagainya, seolah aku gadis ingusan baru berumur tujuh belas yang sedang jatuh cinta untuk pertama kali. Aku akan mengabaikan ajakan dinner dan nonton dengan teman-temanku, memilih menghabiskan waktu denganya berdiskusi, membaca buku dan puisi, nonton atau sekedar berjalan-jalan di taman kota bila dia punya banyak waktu untuk berkunjung ke kotaku. Lebih sering aku menulis surat yang panjang berkisah tentang banyak hal bila dia tak bisa datang.
Kebutuhan. Mungkin identik dengan segala sesuatu yang kita inginkan atau pernah hilang dalam hidup kita. Apa yang kurasakan ketika dia ada di saat-saat yang paling kubutuhkan adalah aku merasa dicintai, disayangi dan dihargai ( sesuatu yang pernah terampas dari masa kanak-kanaku ). Dan aku butuh itu. Ini adalah sisi ke-perempuan-an ku yang tengah berbicara, biarlah, aku kan perempuan. Bila dia menjadi suamiku kelak, aku akan bisa melihatnya tiap hari di sampingku, aku akan banyak bicara dengannya, ada tempat buatku berbagi beban hidup, teman diskusi yang asyik, yang akan mengawalku kemana aku pergi. Tapi akan lebih rumit lagi bila pikirannku kemballi nakal berujar “kalau aku sudah tak butuh dia lagi, bagaimana ?”
Mengapa Tuhan menciptakan bintang dan kegelapan ? Karena Tuhan tahu mereka saling membutuhkan, betapapun angkuh kegelapan itu.
Sda, April 2001


Antara Cinta dan Kepentingan


Semasa kuliah dulu, saya sering punya guyonan lucu. Bukan apa –apa, karena saya tipe orang aneh kata teman –teman, jalan pikiran saya kadang – kadang bikin orang yang mendengarnya terperangah. Seberapa anehkah saya ? Nggak segitu anehnya sih, saya cuma suka baca buku sastra, puisi dan filsafat ‘pop’ ( dibilang pop karena saya suka yang instant dan tak berbelit – belit ), agak penyendiri tapi juga nggak kuper – kuper amat、penggemar berat kartun Jepang, punya banyak teman laki – laki yang statusnya bukan pacar saya dan sedikit tomboy.


Bagi para jomblowati, hari sabtu adalah sebuah siksaan, maksudnya, jadi korban ledekan teman – teman yang sudah duluan pergi kencan bersama pacar. Sementara buat saya sabtu malam atau malam lainnya sama saja, karena meskipun saya punya pacar tapi jarang kencan. Pacaran cuma lewat surat dan telpon, pokoknya jadul ( jaman dulu ) banget. Bertemu sekali setahun pun sudah bagus. Ini point tambahan yang membuat saya disebut orang aneh. Karena cuma Kahlil Gibran dan May Ziadah yang punya gaya pacaran seperti saya dan bertahan sampai seumur hidup mereka. Sabtu malam merupakan malam produktif saya, karena saat itulah saya bisa ngapain saja, menulis di kamar atau membaca buku , mendengarkan para jomblowati berkeluh kesah kenapa sampai detik itu belum juga punya pacar, yang punya pacar dan kebetulan sedang berantem sesekali curhat pada saya, kalau lagi banyak duit surfing dan chatting di warnet kampus.


Kata saya, sebenarnya, ketika kita jatuh cinta dengan seseorang, saat itu juga kita punya kepentingan dengannya. Jadi sama dengan politik, semakin banyak kepentingan semakin kita mencintainya. Pendapat saya ini tentu saja memperoleh banyak sanggahan, bahkan salah seorang teman melempar bantal ke arah saya ( untung cuma bantal, bukan pisau ). Saya juga tidak mempercayai adanya cinta abadi di dunia karena yang benar adalah kepentingan abadi. Cinta kok dipolitisir, gitu kata teman saya. Tapi bener kan ?.. Cinta abadi cuma milik Tuhan kepada hambaNya ( vice versa ).


Waktu itu saya meledek salah seorang teman saya. Waktu masih jomblowati dia ingin punya pacar yang bisa nganterin dia kemana saja, lumayan ngirit ongkos dan punya pengawal gratis. Maka dia jadian dengan si pacar yang bersedia nganter jemput seperti supir pribadi. Ternyata lama – lama temen saya ini bete juga karena biarpun sang pacar super duper setia si pacar juga seorang pencemburu berat. Si pacar mau nganter jemput karena dia pengen tahu banget dengan siapa temen saya bergaul, berantemnya sering karena ternyata temen saya punya banyak teman laki – laki walaupun mereka benar – benar cuma teman biasa, lagipula ternyata si pacar adalah tipe anak manis yang agaknya kurang cocok bergaul dengan temannya teman saya. Akhirnya mereka putus.


Ada juga teman lain yang pacaran karena yakin si pacar yang bisa menyelamatkan dia dari kecanduan rokok. Kebetulan teman cewek satu ini agak badung karena memang berasal dari keluarga broken home. Untung si pacar baik hati jadi teman saya ini nggak dimainin.


Saya mengenal seseorang yang sudah punya misi dan visi ke depan waktu masih pacaran.
Mungkin aneh, karena teman lain pas pacaran cuma melulu mengurusi masalah romantisme, tapi dia sudah berbagi misi dan visi ke depan. Demi misi dan visinya dia membutuhkan cewek yang tough, tahan banting dan mandiri meski dengan kemampuan akademik rata - rata. Katanya, dia suka cewek yang bisa dibawa hidup susah ( walah… ) dan nggak risih kalau di ajak nongkrong di angkringan.


Cinta dan nafsu kadangkala susah dibedakan dan cinta terlalu mudah terkikis bersama perjalanan waktu apalagi cinta yang tumbuh dari ketertarikan fisik, dia berpendapat bahwa cinta bukanlah lem perekat yang erat untuk sebuah hubungan. Kesamaan misi dan visi itu yang lebih utama. Kalau kalian bertanya padanya apakah dia mencintai pasangannya maka dia akan garuk – garuk kepala setengah bingung. We prepared the marriage not the wedding.

Dream Book – Menulis Masa Depan

Ketika kuliah, saya sering mengamati kebiasaan seseorang. Dia suka sekali menulis dan menempelkan kertas berisi cita – cita dan harapan dia di mana – mana, di lemari, di tembok meja belajarnya, di dinding dan sebagainya . Dia juga punya semacam ‘dream book’ berisi tentang peta hidup dan harapan – harapannya.
Selama ini sejak saya SD hingga sekarang, saya memang punya buku harian, namun tak pernah menuliskan apa cita – cita saya, impian saya dan harapan – harapan saya agar sukses dalam hidup. Saya memang suka menulis, namun hanya cerita sehari – hari dan puisi. Lalu dia memberi saya buku tentang Psycho Cybernotic dan menyuruh saya membacanya. Kata buku itu, kita adalah apa yang kita tulis, kalau kita punya cita – cita, harapan dan keinginan, tulis saja, karena kita juga tak bisa mengandalkan melulu otak untuk mengingat. Dengan menulis harapan dan cita – cita kita akan makin termotivasi untuk mewujudkannya. Sering kali kita lupa akan cita –cita, lelah dengan beban kerja dan hidup. Lalu di saat senggang kita membaca lagi ‘dream book’ kita, semangat baru pun kembali datang dan jangan terkejut bahwa kita akan mendapatkan inspirasi, ide – ide segar untuk meraih dan mewujudkan cita – cita dan harapan kita.
Agak ragu waktu saya mencobanya. Namun saya pikir tidak ada salahnya. Saya membeli buku jurnal yang bagus dan mulai menulis semua keinginan saya. Salah satunya, waktu itu saya baru saja lulus kuliah dan sedang mencari kerja. Ketika saya membaca koran dan melihat iklan lowongan pekerjaan saya pun memasukkan aplikasi. Setelah itu saya gunting iklan lowongan kerjanya dan saya tempel di ‘dream book’ saya, selama menunggu panggilan saya selalu sempatkan diri membaca ‘dream book’ tersebut, selain keinginan agar segera mendapatkan pekerjaan, saya juga menulis impian saya yang lain, misalnya ingin pergi ke Jepang ( saya menempel foto seseorang yang sedang berpose di Yasuda Hall of Tokyo University ), saya juga menempel gambar laptop dari sebuah majalah karena saya ingin mengganti PC saya yang cuma pentium 2. Rasanya saya hampir tak percaya sewaktu saya diterima kerja di tempat tersebut. Satu persatu saya meraih impian saya, misalnya setelah 2 tahun bekerja, akhirnya saya berkesempatan bisa pergi ke Jepang karena perusahaan mengirim saya untuk program training, sekaligus membeli laptop bekas seharga hanya 850 ribu rupiah bila dikonversi dari yen ke rupiah dalam kondisi yang masih sangat bagus. Di sini, laptop bekas dari Jepang biasanya paling murah seharga 2.5 - 3 juta rupiah.
Memiliki ‘dream book’ kesannya jadi menulis masa depan kita sendiri, bukannya bermaksud ‘mendikte’ Tuhan namun sejalan dengan pemikiran bahwa tidak ada yang mampu mengubah nasib seseorang selain dia sendiri. Tuhan hanya akan mengabulkan do’a dan keinginan kita. Menulisnya, membuat kita lebih fokus.