Aku senang sekali mendengarkan suara hujan di malam hari ketika aku sendiri dan suasana hening hanya suara air menimpa atap dan jalanan di depan rumah. Membaui aroma tanah dan rerumputan basah.
Hiburanku satu-satunya hanya laptopku dan musik dari MP3 player. Kadang-kadang aku membaca buku hingga larut malam ketika aku tak bisa tidur. Sementara untuk acara kencan di malam minggu aku tak punya. Sesekali beberapa teman laki-laki mengajakku pergi, tapi jarang kuterima.
Seperti sabtu malam ini, hujan kembali turun. Aku terjaga di depan mejaku, kubuka jendela lebar-lebar, sambil menikmati secangkir kopi panas, aku melihat ke bawah. Sepasang remaja berusaha berteduh dari hujan dengan sebuah jaket milik sang cowok. Aku tersenyum.
Mereka mungkin bisa jadi telah mengalami berulang kali patah hati sebelum akhirnya menemukan cinta sejatinya.
Aku jadi teringat Eliza, sahabatku semasa sekolah dulu. Eliza cantik, bahkan nyaris sempurna dan juga pintar. Kulitnya putih bersih, rambutnya coklat kemerahan seperti cewek bule, matanya ? beautiful brown eyes yang bisa bikin para lelaki tergila-gila padanya. Menurutku dia mirip artis cilik Shirley Temple bahkan dalam usianya yang sudah bukan remaja lagi. Iseng-iseng aku dan Eliza menelusuri silsilah keluarganya. Pantes bau bule, buyutnya keturunan kompeni eh Belanda ding. Kadang-kadang bila sedang berjalan di sampingnya aku merasa jadi si itik buruk rupa. Tapi kata teman-temanku yang lain, aku lebih mirip bodyguard daripada itik.
Seharusnya dengan wajah cantik, hati yang baik dan otak yang encer Eliza bisa punya pacar, hanya anehnya hingga kini dia masih belum punya pacar tetap, hanya Tuhan Yang Maha Tahu kenapa tak satupun dari semua laki-laki yang pernah dekat dengannya menjadi pacarnya. Apa yang salah ? Entahlah.
Cinta memang kadang berlaku di luar logika. Cinta memang bukan matematika, satu ditambah satu sama dengan dua. Apa yang mungkin terjadi menurut nalar, bisa jadi mustahil kalau sudah berhubungan dengan cinta. Bahkan Lia yang sebenernya nggak cantik-cantik amat, nggak pinter banget eh malah punya suami dokter.
Kadang kupikir barangkali Eliza yang terlalu pemilih, terlalu idealis bahkan pernah kukatakan padanya seharusnya Eliza mencintai orangnya bukan deskripsi. Simak saja apa yang diinginkannya dalam diri laki-laki pilihannya, baik, ganteng, putih, tinggi, pinter dan berkacamata. Barangkali dia lebih cocok dengan mister Jambul, si Jepang gila rekan kerjaku yang lebih suka kupanggil Jambul daripada nama aslinya karena rambutnya berjambul seperti ayam jago. Aku tak menyalahkan Eliza, semua orang berhak memiliki seseorang yang diidamkan, bahkan aku pun punya penggambaran laki-laki yang aku inginkan jadi pasangan hidupku kelak.
Tapi yang aku kagumi dari Eliza, meski sering berganti pasangan dan sesekali putus nyambung dengan pacar-pacarnya, Eliza tetap ceria. Kadang-kadang memang aku nggak ngerti dengan kegilaan temenku cewek satu ini. Hari ini putus cinta, besok sudah ketawa-ketawa lagi, hari berikutnya sudah jalan dengan yang lain lagi, seolah tidak ada beban hidup yang berat buatnya. Hidupnya itu bagai air yang mengalir, jalanin aja apa adanya, gitu prinsipnya.
Cinta yang bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun lebih menyakitkan lagi bila saling mencintai namun tak bisa bersama.
Sesekali Eliza bersedih hati ketika dia bener-bener cinta mati dengan sang lelaki, namun ternyata bertepuk sebelah tangan, si lelaki Cuma menganggapnya teman ( tapi kok mereka mesra ya..), atau ketika mereka saling menyayangi, ada saja hal yang membuat mereka terpaksa harus berpisah.
Aku tak pernah keberatan menjadi teman curhatnya. Ada persamaan antara aku dan Eliza, sama-sama tak punya pacar, jadi malam minggu kami selalu bersama. Kadang-kadang aku ke rumahnya dan kita ngobrol berjam-jam, atau Eliza datang ke tempatku. Eliza pernah bertanya padaku kenapa aku bisa sesantai ini meski tak ada pacar.
“Tidakkah kamu ingin disayang dan diperhatikan seseorang ?”, tanya Eliza padaku suatu saat.
“Pacar itu penting ya ?”, aku malah balik bertanya yang kemudian malah menuai timpukan bantal, buku dan bolpen dari Eliza.
Sesekali aku memang ingin diperhatikan dan disayang seseorang, misalnya salah satu dari teman laki-laki yang selama ini dekat denganku. Tapi aku mungkin memang orang aneh seperti yang dikatakan Eliza padaku karena aku tak pernah menuntut untuk dijadikan pacar atau menjadikan mereka pacar. Mencintai dan dicintai itu kan nggak harus saling memiliki dan dimiliki, argumenku ketika Eliza menanyakan alasanku men-jomblo semasa sekolah dulu. Lagi pula aku dulu terlalu berambisi menjadi seorang penulis, jadi waktuku lebih banyak kupakai untuk banyak membaca buku, belajar menulis pada guru sastra Indonesia, jalan-jalan atau mengurusi mading sekolah. Lagi pula sebagian besar laki-laki yang dekat denganku lebih sering kujadikan sumber inspirasi puisi atau cerpenku. Mereka adalah orang-orang yang unik dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
“Sialan luh”, kata Eliza setelah mendengar alasanku dekat dengan mereka.
“Lho, emang salah ? Lha wong para cowok pelukis biasa dekat obyek lukisnya supaya lukisan mereka ‘hidup’, mana kadang-kadang disuruh bugil lagi, aku kan nggak sampe segitunya nyuruh mereka bugil”. Eliza tertawa ngakak lalu menjitak kepalaku.
Kukira, kalau seluruh kisah cinta Eliza dikumpulkan bisa jadi sebuah buku atau novel.
Kisah cinta pertama Eliza. Kami masih terlalu muda saat itu, awal masa remaja yang indah. Hingga kini aku masih saja selalu penasaran kenapa pada masa itu ada sebutan cinta monyet bukan ayam atau beruang ( emang yang bisa bercinta Cuma monyet doang ? )
Laki-laki itu bernama Dewa, laki-laki kelahiran pulau Dewata Bali, manis, pintar, baik, berkacamata ( walau tak berkulit putih ), apalagi dia punya suara merdu yang menjadikannya juara pertama lomba menyanyi di sekolah. Hampir semua teman perempuan menggilainya, terutama Eliza, kecuali aku yang saat itu sedang dekat dengan Joe, si pujangga sekolah yang terkenal dengan puisi-puisinya yang romantis dan banyak digilai cewek pula. Eliza dan Dewa memang cukup sering bertemu karena mereka satu kelompok belajar dan aku yakin sekali saat-saat yang dinantikan Eliza adalah ketika mereka belajar bersama. Aku barangkali memang tak terlalu pintar matematika dan agak payah dalam pelajaran fisika, tapi aku cukup jeli menangkap kedekatan mereka.
“Sejelas kamu melihat pensil ini, El”, kataku ketika Eliza bertanya bagaimana aku bisa tahu perasaannya pada Dewa sebelum Eliza sempat curhat denganku. Namun sayang, semuanya berakhir ketika kami lulus dan berpisah seiring dengan perbedaan keyakinan antara Dewa dan Eliza. Dewa dan aku masih satu sekolah, namun Eliza tidak. Jadi sesekali Eliza masih meminta informasi kepadaku dengan siapa Dewa sekarang berhubungan. Barangkali Eliza masih menyimpan kenangan manis pahit itu. Meski demikian ‘life must go on’, di sekolahnya yang baru Eliza telah menemukan pengganti Dewa, meski kembali tak satupun yang jadi pacar tetap hingga lulus SMA.
Laki-laki itu makhluk yang susah dimengerti apa maunya. Egois dan inginnya menang sendiri. Kadang kupikir kenapa Tuhan menciptakan mereka untuk kami para perempuan. Tapi seperti matahari yang kadang bersinar terik menjengkelkan, kami akan selalu membutuhkan mereka.
Satu lagi laki-laki hadir dalam kehidupan Eliza. Irul, teman kuliahnya di Sastra Inggris. Dia mungkin laki-laki yang baik dan penuh perhatian namun kadang lidahnya nyinyir seperti nenek-nenek. Entah apa yang diharapkannya dari perempuan. Irul memang care, sekaligus cerewet untuk urusan penampilan. Dia tak akan segan-segan mengomentari Eliza yang tomboy seperti aku atau terlalu ramah dan terbuka dengan teman-teman laki-laki lainnya. Kenapa cinta bisa menjadi belenggu ?. Tak terbayangkan oleh Eliza sebelumnya mereka akan terjebak cinta segitiga ala anak kuliahan.
Dengan dalih ingin kerja sambil kuliah, Eliza memilih kuliah malam, beda denganku yang siang-siang berkejaran dengan bus kota dan terik matahari, Eliza kadang-kadang harus nebeng mobil teman takut kemalaman. Dan itu menjadi awal hubungan Eliza dengan Irul.
Berawal dari acara pinjam buku, menyelesaikan assigment, cari buku bareng di perpustakaan, pulang bersama dan lain-lain mereka makin akrab. Apalagi Irul cukup manis, tinggi, gentleman, agak putih dan berkacamata. Komplit sudah sesuai kriteria pria idaman Eliza, karena itu Eliza rela ‘dipermak’ Irul. Eliza mulai berubah dari cara bicara, berpakaian dan sikap. Lebih feminin. Mungkin itu perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi menurutku, tak perlu menjadi orang lain untuk bisa dicintai. Just love the way you are .
Lalu datanglah mimpi buruk itu. Irul berterus terang kalau dia sudah bertunangan dan masih berhubungan dengan mantan pacarnya yang dulu. Dan konyolnya dia berkata kalau sebenarnya ia ingin kembali dengan mantan pacarnya, pertunangan itu adalah rekayasa keluarga. Dan di mana Eliza ? siapa Eliza baginya ?. lagi-lagi Eliza harus patah.
Barangkali petualangan Eliza yang paling gila adalah ketika ia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sekalipun tak pernah bertemu dengannya. Cuma via SMS. Love is blind ? Atau cerita cinta ala Kahlil Gibran dan May Ziadah kembali berulang ?
Berawal dari sahabatku yang iseng menjodohkan Eliza dengan Dion, si playboy kampusku. Gayung bersambut, setelah saling bertukar nomer handphone, Eliza dan Dion pun saling kontak. Mulai dari SMS sekedar iseng bertanya kabar hingga yang isinya agak nyerempet ke arah serius, mereka janji untuk bertemu.
Aku sendiri tak yakin dengan hubungan jarak jauh semacam ini. Apalagi mereka belum pernah bertemu ditambah dengan reputasi Dion yang bagiku agak meragukan.
“Gimana kalau misalnya Dion itu jelek nggak ketulungan, panuan, berkutu dan lain-lain “, tanyaku.
“Katamu love is not just a physical attraction ? “, kata Eliza sambil cengengesan.
Tapi hari demi hari Dion berhasil meyakinkan Eliza kalau mereka sedang menuju ke arah hubungan yang serius meski belum punya kesempatan untuk bertemu langsung. Setiap kali mereka akan bertemu selalu saja ada halangan. Yang Dion harus mengantar kakaknya pergi keluar kota, ibunya sakit, teman lagi butuh bantuannya.
“Kucing tetangga beranaklah”, tambahku lagi ketika Dion membatalkan sekali lagi kencan mereka.
“Kamu yakin El, atas kesungguhan Dion ?”, tanyaku dan Eliza mengangguk mantap, aku Cuma bisa angkat bahu.
Dengan bantuanku, mereka bertukar foto, aku sampai tegang menanti reaksi Eliza setelah melihat tampang Dion yang jauh dari kriteria ‘perfect’ seperti yang Eliza inginkan. Cuma yang bikin aku heran, cowok yang termasuk kriteria ‘biasa-biasa’ ini ternyata digilai banyak perempuan di kampus.
Dan Eliza bisa menerima begitu saja. Ini keajaiban. Cinta memang ajaib sekaligus membingungkan.
Apa yang terjadi dengan Dion, sungguh di luar dugaanku. Sekali lagi ini adalah keajaiban, ternyata Dion malah mundur dan menghilang begitu saja dari kehidupan Eliza.
“Eliza terlalu cantik buatku”, begitu katanya padaku ketika kutanya kenapa dia pergi meninggalkan Eliza.
Aku mengerutkan dahi, berpikir keras, alasan apapula ini ?
”Bukannya kamu Cuma ingin memperpanjang daftar perempuan yang sudah kau buat patah hati ?”, tanyaku lagi
“Runa, kamu kok sinis banget sih!”. Setelah itu Dion pergi meninggalkanku dalam ketidakmengertian.
Itu adalah tamparan telak yang paling dirasakan Eliza, sekaligus membukakan mataku bahwa kesempurnaan fisik bukan segalanya. Eliza sempat kehilangan rasa percaya dirinya. Dia yang selama ini dianggap ratu, baik, cantik dan pintar ternyata ditolak oleh laki-laki biasa seperti Dion.
Laki-laki itu makhluk rumit serupa teka-teki yang sulit ditebak.
“Bukan salahmu El, Dion aja yang goblok. Emang di dunia ini persentase laki-laki bodoh dan pinter nggak jauh beda, sama banyak”.
Ketika Eliza bersedih hati, aku berusaha menghiburnya. Kata orang bijak, ketika pintu kebahagiaan yang satu tertutup, pintu yang lain dibukakan oleh-Nya. Meski Eliza belum memiliki pasangan hingga kini, tapi aku memintanya untuk yakin dan bersyukur atas apa yang telah dimilikinya sekarang. Fisik yang sempurna, keluarga dan teman-teman yang sangat menyayanginya. Meski dia pernah bertanya padaku suatu kali barangkali dia perlu diet, creambath, rebonding, pergi fitness atau ke spa, tampil seksi atau yang semacamnya, kukatakan padanya bahwa dia tak perlu memakai topeng untuk menarik perhatian laki-laki.
“Kita bukan merak yang kudu punya ekor yang bagus dan berwarna-warni untuk mendapatkan pejantan,” begitu kataku. Dan semua kejadian itu semoga tak berhenti membuatnya mencintai sesama. Meski cintanya sunyi tanpa gaung, tanpa gema.
Pagi ini ketika aku sedang mencabuti rumput liar di sela bunga- bunga di ‘rimba kecilku’, aku kembali mendengar sapaan centil itu
“Haii…..”.
Aku menoleh, Eliza ? dan olala…siapa lagi laki-laki yang sedang berdiri di sampingnya ?
“Stock baru ?”, tanyaku berbisik di telinganya. Eliza nyengir.
”Nemu di mana ?”, tanyaku lagi sambil melirik laki-laki itu.
”Ntar aku ceritain, sekarang ikut kami hang out yuk!”.
Jadilah hari itu aku harus menjadi obat nyamuk, istilah Eliza bila dia mengajakku jalan-jalan dengan pacarnya. Dia selalu meminta pendapatku bila ada laki-laki yang dekat dengannya. Kata Eliza dia percaya dengan instingku, apakah dia laki-laki baik atau tidak.
”Kalau kukatakan dia tidak baik, tapi kamu tetap cinta padanya gimana ?”, tanyaku
”Itu lain soal, dana bantuan politik saja bisa di mark-up, masak yang ini nggak bisa dibikin baik”, begitu komentarnya ringan.
Laki-laki itu namanya Rian, cukup manis dan lumayan enak untuk teman hang out dan ngobrol. Tapi kukatakan pada Eliza untuk tidak cepat-cepat jatuh cinta pada kesan pertama karena kita tidak pernah tahu apa yang ada di hati dan otak laki-laki. Namun itu adalah kelemahan Eliza, terlalu cepat percaya, terlalu cepat jatuh cinta dan terlalu mudah untuk dibuat jatuh cinta. Lagi-lagi cintanya berujung sunyi, karena Eliza harus kehilangan lagi.
Hiburanku satu-satunya hanya laptopku dan musik dari MP3 player. Kadang-kadang aku membaca buku hingga larut malam ketika aku tak bisa tidur. Sementara untuk acara kencan di malam minggu aku tak punya. Sesekali beberapa teman laki-laki mengajakku pergi, tapi jarang kuterima.
Seperti sabtu malam ini, hujan kembali turun. Aku terjaga di depan mejaku, kubuka jendela lebar-lebar, sambil menikmati secangkir kopi panas, aku melihat ke bawah. Sepasang remaja berusaha berteduh dari hujan dengan sebuah jaket milik sang cowok. Aku tersenyum.
Mereka mungkin bisa jadi telah mengalami berulang kali patah hati sebelum akhirnya menemukan cinta sejatinya.
Aku jadi teringat Eliza, sahabatku semasa sekolah dulu. Eliza cantik, bahkan nyaris sempurna dan juga pintar. Kulitnya putih bersih, rambutnya coklat kemerahan seperti cewek bule, matanya ? beautiful brown eyes yang bisa bikin para lelaki tergila-gila padanya. Menurutku dia mirip artis cilik Shirley Temple bahkan dalam usianya yang sudah bukan remaja lagi. Iseng-iseng aku dan Eliza menelusuri silsilah keluarganya. Pantes bau bule, buyutnya keturunan kompeni eh Belanda ding. Kadang-kadang bila sedang berjalan di sampingnya aku merasa jadi si itik buruk rupa. Tapi kata teman-temanku yang lain, aku lebih mirip bodyguard daripada itik.
Seharusnya dengan wajah cantik, hati yang baik dan otak yang encer Eliza bisa punya pacar, hanya anehnya hingga kini dia masih belum punya pacar tetap, hanya Tuhan Yang Maha Tahu kenapa tak satupun dari semua laki-laki yang pernah dekat dengannya menjadi pacarnya. Apa yang salah ? Entahlah.
Cinta memang kadang berlaku di luar logika. Cinta memang bukan matematika, satu ditambah satu sama dengan dua. Apa yang mungkin terjadi menurut nalar, bisa jadi mustahil kalau sudah berhubungan dengan cinta. Bahkan Lia yang sebenernya nggak cantik-cantik amat, nggak pinter banget eh malah punya suami dokter.
Kadang kupikir barangkali Eliza yang terlalu pemilih, terlalu idealis bahkan pernah kukatakan padanya seharusnya Eliza mencintai orangnya bukan deskripsi. Simak saja apa yang diinginkannya dalam diri laki-laki pilihannya, baik, ganteng, putih, tinggi, pinter dan berkacamata. Barangkali dia lebih cocok dengan mister Jambul, si Jepang gila rekan kerjaku yang lebih suka kupanggil Jambul daripada nama aslinya karena rambutnya berjambul seperti ayam jago. Aku tak menyalahkan Eliza, semua orang berhak memiliki seseorang yang diidamkan, bahkan aku pun punya penggambaran laki-laki yang aku inginkan jadi pasangan hidupku kelak.
Tapi yang aku kagumi dari Eliza, meski sering berganti pasangan dan sesekali putus nyambung dengan pacar-pacarnya, Eliza tetap ceria. Kadang-kadang memang aku nggak ngerti dengan kegilaan temenku cewek satu ini. Hari ini putus cinta, besok sudah ketawa-ketawa lagi, hari berikutnya sudah jalan dengan yang lain lagi, seolah tidak ada beban hidup yang berat buatnya. Hidupnya itu bagai air yang mengalir, jalanin aja apa adanya, gitu prinsipnya.
Cinta yang bertepuk sebelah tangan memang menyakitkan. Namun lebih menyakitkan lagi bila saling mencintai namun tak bisa bersama.
Sesekali Eliza bersedih hati ketika dia bener-bener cinta mati dengan sang lelaki, namun ternyata bertepuk sebelah tangan, si lelaki Cuma menganggapnya teman ( tapi kok mereka mesra ya..), atau ketika mereka saling menyayangi, ada saja hal yang membuat mereka terpaksa harus berpisah.
Aku tak pernah keberatan menjadi teman curhatnya. Ada persamaan antara aku dan Eliza, sama-sama tak punya pacar, jadi malam minggu kami selalu bersama. Kadang-kadang aku ke rumahnya dan kita ngobrol berjam-jam, atau Eliza datang ke tempatku. Eliza pernah bertanya padaku kenapa aku bisa sesantai ini meski tak ada pacar.
“Tidakkah kamu ingin disayang dan diperhatikan seseorang ?”, tanya Eliza padaku suatu saat.
“Pacar itu penting ya ?”, aku malah balik bertanya yang kemudian malah menuai timpukan bantal, buku dan bolpen dari Eliza.
Sesekali aku memang ingin diperhatikan dan disayang seseorang, misalnya salah satu dari teman laki-laki yang selama ini dekat denganku. Tapi aku mungkin memang orang aneh seperti yang dikatakan Eliza padaku karena aku tak pernah menuntut untuk dijadikan pacar atau menjadikan mereka pacar. Mencintai dan dicintai itu kan nggak harus saling memiliki dan dimiliki, argumenku ketika Eliza menanyakan alasanku men-jomblo semasa sekolah dulu. Lagi pula aku dulu terlalu berambisi menjadi seorang penulis, jadi waktuku lebih banyak kupakai untuk banyak membaca buku, belajar menulis pada guru sastra Indonesia, jalan-jalan atau mengurusi mading sekolah. Lagi pula sebagian besar laki-laki yang dekat denganku lebih sering kujadikan sumber inspirasi puisi atau cerpenku. Mereka adalah orang-orang yang unik dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
“Sialan luh”, kata Eliza setelah mendengar alasanku dekat dengan mereka.
“Lho, emang salah ? Lha wong para cowok pelukis biasa dekat obyek lukisnya supaya lukisan mereka ‘hidup’, mana kadang-kadang disuruh bugil lagi, aku kan nggak sampe segitunya nyuruh mereka bugil”. Eliza tertawa ngakak lalu menjitak kepalaku.
Kukira, kalau seluruh kisah cinta Eliza dikumpulkan bisa jadi sebuah buku atau novel.
Kisah cinta pertama Eliza. Kami masih terlalu muda saat itu, awal masa remaja yang indah. Hingga kini aku masih saja selalu penasaran kenapa pada masa itu ada sebutan cinta monyet bukan ayam atau beruang ( emang yang bisa bercinta Cuma monyet doang ? )
Laki-laki itu bernama Dewa, laki-laki kelahiran pulau Dewata Bali, manis, pintar, baik, berkacamata ( walau tak berkulit putih ), apalagi dia punya suara merdu yang menjadikannya juara pertama lomba menyanyi di sekolah. Hampir semua teman perempuan menggilainya, terutama Eliza, kecuali aku yang saat itu sedang dekat dengan Joe, si pujangga sekolah yang terkenal dengan puisi-puisinya yang romantis dan banyak digilai cewek pula. Eliza dan Dewa memang cukup sering bertemu karena mereka satu kelompok belajar dan aku yakin sekali saat-saat yang dinantikan Eliza adalah ketika mereka belajar bersama. Aku barangkali memang tak terlalu pintar matematika dan agak payah dalam pelajaran fisika, tapi aku cukup jeli menangkap kedekatan mereka.
“Sejelas kamu melihat pensil ini, El”, kataku ketika Eliza bertanya bagaimana aku bisa tahu perasaannya pada Dewa sebelum Eliza sempat curhat denganku. Namun sayang, semuanya berakhir ketika kami lulus dan berpisah seiring dengan perbedaan keyakinan antara Dewa dan Eliza. Dewa dan aku masih satu sekolah, namun Eliza tidak. Jadi sesekali Eliza masih meminta informasi kepadaku dengan siapa Dewa sekarang berhubungan. Barangkali Eliza masih menyimpan kenangan manis pahit itu. Meski demikian ‘life must go on’, di sekolahnya yang baru Eliza telah menemukan pengganti Dewa, meski kembali tak satupun yang jadi pacar tetap hingga lulus SMA.
Laki-laki itu makhluk yang susah dimengerti apa maunya. Egois dan inginnya menang sendiri. Kadang kupikir kenapa Tuhan menciptakan mereka untuk kami para perempuan. Tapi seperti matahari yang kadang bersinar terik menjengkelkan, kami akan selalu membutuhkan mereka.
Satu lagi laki-laki hadir dalam kehidupan Eliza. Irul, teman kuliahnya di Sastra Inggris. Dia mungkin laki-laki yang baik dan penuh perhatian namun kadang lidahnya nyinyir seperti nenek-nenek. Entah apa yang diharapkannya dari perempuan. Irul memang care, sekaligus cerewet untuk urusan penampilan. Dia tak akan segan-segan mengomentari Eliza yang tomboy seperti aku atau terlalu ramah dan terbuka dengan teman-teman laki-laki lainnya. Kenapa cinta bisa menjadi belenggu ?. Tak terbayangkan oleh Eliza sebelumnya mereka akan terjebak cinta segitiga ala anak kuliahan.
Dengan dalih ingin kerja sambil kuliah, Eliza memilih kuliah malam, beda denganku yang siang-siang berkejaran dengan bus kota dan terik matahari, Eliza kadang-kadang harus nebeng mobil teman takut kemalaman. Dan itu menjadi awal hubungan Eliza dengan Irul.
Berawal dari acara pinjam buku, menyelesaikan assigment, cari buku bareng di perpustakaan, pulang bersama dan lain-lain mereka makin akrab. Apalagi Irul cukup manis, tinggi, gentleman, agak putih dan berkacamata. Komplit sudah sesuai kriteria pria idaman Eliza, karena itu Eliza rela ‘dipermak’ Irul. Eliza mulai berubah dari cara bicara, berpakaian dan sikap. Lebih feminin. Mungkin itu perubahan ke arah yang lebih baik. Tapi menurutku, tak perlu menjadi orang lain untuk bisa dicintai. Just love the way you are .
Lalu datanglah mimpi buruk itu. Irul berterus terang kalau dia sudah bertunangan dan masih berhubungan dengan mantan pacarnya yang dulu. Dan konyolnya dia berkata kalau sebenarnya ia ingin kembali dengan mantan pacarnya, pertunangan itu adalah rekayasa keluarga. Dan di mana Eliza ? siapa Eliza baginya ?. lagi-lagi Eliza harus patah.
Barangkali petualangan Eliza yang paling gila adalah ketika ia jatuh cinta pada seorang laki-laki yang sekalipun tak pernah bertemu dengannya. Cuma via SMS. Love is blind ? Atau cerita cinta ala Kahlil Gibran dan May Ziadah kembali berulang ?
Berawal dari sahabatku yang iseng menjodohkan Eliza dengan Dion, si playboy kampusku. Gayung bersambut, setelah saling bertukar nomer handphone, Eliza dan Dion pun saling kontak. Mulai dari SMS sekedar iseng bertanya kabar hingga yang isinya agak nyerempet ke arah serius, mereka janji untuk bertemu.
Aku sendiri tak yakin dengan hubungan jarak jauh semacam ini. Apalagi mereka belum pernah bertemu ditambah dengan reputasi Dion yang bagiku agak meragukan.
“Gimana kalau misalnya Dion itu jelek nggak ketulungan, panuan, berkutu dan lain-lain “, tanyaku.
“Katamu love is not just a physical attraction ? “, kata Eliza sambil cengengesan.
Tapi hari demi hari Dion berhasil meyakinkan Eliza kalau mereka sedang menuju ke arah hubungan yang serius meski belum punya kesempatan untuk bertemu langsung. Setiap kali mereka akan bertemu selalu saja ada halangan. Yang Dion harus mengantar kakaknya pergi keluar kota, ibunya sakit, teman lagi butuh bantuannya.
“Kucing tetangga beranaklah”, tambahku lagi ketika Dion membatalkan sekali lagi kencan mereka.
“Kamu yakin El, atas kesungguhan Dion ?”, tanyaku dan Eliza mengangguk mantap, aku Cuma bisa angkat bahu.
Dengan bantuanku, mereka bertukar foto, aku sampai tegang menanti reaksi Eliza setelah melihat tampang Dion yang jauh dari kriteria ‘perfect’ seperti yang Eliza inginkan. Cuma yang bikin aku heran, cowok yang termasuk kriteria ‘biasa-biasa’ ini ternyata digilai banyak perempuan di kampus.
Dan Eliza bisa menerima begitu saja. Ini keajaiban. Cinta memang ajaib sekaligus membingungkan.
Apa yang terjadi dengan Dion, sungguh di luar dugaanku. Sekali lagi ini adalah keajaiban, ternyata Dion malah mundur dan menghilang begitu saja dari kehidupan Eliza.
“Eliza terlalu cantik buatku”, begitu katanya padaku ketika kutanya kenapa dia pergi meninggalkan Eliza.
Aku mengerutkan dahi, berpikir keras, alasan apapula ini ?
”Bukannya kamu Cuma ingin memperpanjang daftar perempuan yang sudah kau buat patah hati ?”, tanyaku lagi
“Runa, kamu kok sinis banget sih!”. Setelah itu Dion pergi meninggalkanku dalam ketidakmengertian.
Itu adalah tamparan telak yang paling dirasakan Eliza, sekaligus membukakan mataku bahwa kesempurnaan fisik bukan segalanya. Eliza sempat kehilangan rasa percaya dirinya. Dia yang selama ini dianggap ratu, baik, cantik dan pintar ternyata ditolak oleh laki-laki biasa seperti Dion.
Laki-laki itu makhluk rumit serupa teka-teki yang sulit ditebak.
“Bukan salahmu El, Dion aja yang goblok. Emang di dunia ini persentase laki-laki bodoh dan pinter nggak jauh beda, sama banyak”.
Ketika Eliza bersedih hati, aku berusaha menghiburnya. Kata orang bijak, ketika pintu kebahagiaan yang satu tertutup, pintu yang lain dibukakan oleh-Nya. Meski Eliza belum memiliki pasangan hingga kini, tapi aku memintanya untuk yakin dan bersyukur atas apa yang telah dimilikinya sekarang. Fisik yang sempurna, keluarga dan teman-teman yang sangat menyayanginya. Meski dia pernah bertanya padaku suatu kali barangkali dia perlu diet, creambath, rebonding, pergi fitness atau ke spa, tampil seksi atau yang semacamnya, kukatakan padanya bahwa dia tak perlu memakai topeng untuk menarik perhatian laki-laki.
“Kita bukan merak yang kudu punya ekor yang bagus dan berwarna-warni untuk mendapatkan pejantan,” begitu kataku. Dan semua kejadian itu semoga tak berhenti membuatnya mencintai sesama. Meski cintanya sunyi tanpa gaung, tanpa gema.
Pagi ini ketika aku sedang mencabuti rumput liar di sela bunga- bunga di ‘rimba kecilku’, aku kembali mendengar sapaan centil itu
“Haii…..”.
Aku menoleh, Eliza ? dan olala…siapa lagi laki-laki yang sedang berdiri di sampingnya ?
“Stock baru ?”, tanyaku berbisik di telinganya. Eliza nyengir.
”Nemu di mana ?”, tanyaku lagi sambil melirik laki-laki itu.
”Ntar aku ceritain, sekarang ikut kami hang out yuk!”.
Jadilah hari itu aku harus menjadi obat nyamuk, istilah Eliza bila dia mengajakku jalan-jalan dengan pacarnya. Dia selalu meminta pendapatku bila ada laki-laki yang dekat dengannya. Kata Eliza dia percaya dengan instingku, apakah dia laki-laki baik atau tidak.
”Kalau kukatakan dia tidak baik, tapi kamu tetap cinta padanya gimana ?”, tanyaku
”Itu lain soal, dana bantuan politik saja bisa di mark-up, masak yang ini nggak bisa dibikin baik”, begitu komentarnya ringan.
Laki-laki itu namanya Rian, cukup manis dan lumayan enak untuk teman hang out dan ngobrol. Tapi kukatakan pada Eliza untuk tidak cepat-cepat jatuh cinta pada kesan pertama karena kita tidak pernah tahu apa yang ada di hati dan otak laki-laki. Namun itu adalah kelemahan Eliza, terlalu cepat percaya, terlalu cepat jatuh cinta dan terlalu mudah untuk dibuat jatuh cinta. Lagi-lagi cintanya berujung sunyi, karena Eliza harus kehilangan lagi.
No comments:
Post a Comment