Bukan karena kehabisan inspirasi kalau kali ini saya share sebuah artikel bagus dari harian KOMPAS, namun karena sesuai dengan tema ‘soul therapy’ yang lebih cocok untuk menyembuhkan dan sekaligus bayar utang karena sudah janji mau nulis sesuatu yang bisa memberi inspirasi, karena seorang teman pernah komplain, dia malah tambah gila setelah membaca blog saya ;-). Sorry rek....kali ini serius deh.
Sekalian menjawab pertanyaan mengapa tulisan di blog saya pakai bahasa Indonesia bukan bahasa Inggris meski plang namanya pake bahasa Inggris--> nipu, kata temen saya. Tapi saya ndak bermaksud nipu, cuma kemampuan bahasa Inggris saya terbatas ( jawaban yang jujur hiks..hiks....salut man! ) dan klien saya ( baca : orang-orang gila ) yang juga sama ndak ngerti banyak bahasa Inggris ( hua..ha..ha..ha.. )
Buat yang pinter berbahasa Inggris....sesekali “down to earth” boleh dong......
KOMPAS SABTU, 5 JANUARI 2008
It’s a Wonderful Life
Eileen Rachman & Sylvina Savitri ( Experd Growth & Soft Skill Training )
Teman saya pernah mengajarkan,”Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun”.Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang juga berarti “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa akan kembali kepada Allah. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat –saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir dan sehebat – hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”
Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi future benar – benar membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Butto, banjir yang melanda kota – kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming dan belum lagi ramalan – ramalan mengenai semakin “edan”-nya dunia di masa mendatang benar – benar membuat kita galau. Bagi saya, kata “change” yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan action, perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah beranggapan dengan hal – hal tak terduga.
Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita ?
Be “Present”
Kata “present”, berarti “hadiah” dan juga berarti “saat ini”. Seorang ahli time management mengatakan bahwa “being present” ( keberadaan kita saat ini ) adalah “present” ( hadiah ) terbesar dalam hidup kita. “Being present” berarti realistis dan sadar apa yang ada di hadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua resources yang kita miliki. Being present atau “live your life”, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra – putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi, inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.
Memiliki sikap “being present” memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak konsen bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien bahkan menghadapi anak sendiri ? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang dihadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telepon genggam ketika menghadapi orang secara bertatap muka ? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen – momen yang sebenarnya sudh diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik –sebaiknya.
Kita dibutuhkan oleh Orang lain
Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba – tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang bersusah – senang bersama kita adalah ‘kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai serta cobaan. Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan ataupun “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya kesadaran bahwa kita bisa member support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.
Niat Baik adalah Fondasi
Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkap misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya.
Saya cukup terkejut karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.
Niat seperti “ Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”, “Saya ingin anak buah saya sukses”, Saya ingin jadi orang tua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau “Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup – tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih, dan tidak diwarnai dengan “vested interest” maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan bahkan negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi fondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul – betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan apalagi bangsa.
Jatuh, bangun, terpuruk, sukses, akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi masih ingatkah anda film getir Life is Beautiful ( La Vita é Bella ) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni ? kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.
Just open your eyes and see that life is beautiful ( Roberto Benigni )
Sekalian menjawab pertanyaan mengapa tulisan di blog saya pakai bahasa Indonesia bukan bahasa Inggris meski plang namanya pake bahasa Inggris--> nipu, kata temen saya. Tapi saya ndak bermaksud nipu, cuma kemampuan bahasa Inggris saya terbatas ( jawaban yang jujur hiks..hiks....salut man! ) dan klien saya ( baca : orang-orang gila ) yang juga sama ndak ngerti banyak bahasa Inggris ( hua..ha..ha..ha.. )
Buat yang pinter berbahasa Inggris....sesekali “down to earth” boleh dong......
KOMPAS SABTU, 5 JANUARI 2008
It’s a Wonderful Life
Eileen Rachman & Sylvina Savitri ( Experd Growth & Soft Skill Training )
Teman saya pernah mengajarkan,”Bila menghadapi kehilangan, kematian dan suasana duka, ucapkanlah “Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun”.Sebaliknya, bila takjub dengan keajaiban dan keindahan alam, menghadapi situasi dan pengalaman yang menyenangkan, ucapkan juga kalimat tersebut, yang juga berarti “Segala yang berasal dari Allah yang Maha Kuasa akan kembali kepada Allah. Bagi saya kalimat ini sangat membantu di saat –saat sangat susah atau sangat senang, karena pada saat itulah kita seakan diingatkan kembali bahwa adik, kakak, anak, pasangan, rizki, keindahan alam, jabatan, karir dan sehebat – hebatnya ikhtiar kita, adalah “pinjaman” dan “amanah”
Meski sadar bahwa roda kehidupan memang harus berputar, namun begitu cepatnya dan semakin sulitnya kita memprediksi future benar – benar membuat kita panik, kehilangan pegangan. Kematian Benazir Butto, banjir yang melanda kota – kota yang biasanya tidak kenal banjir, air pasang yang menyebabkan bisnis pariwisata sekitar Kuta terpuruk, global warming dan belum lagi ramalan – ramalan mengenai semakin “edan”-nya dunia di masa mendatang benar – benar membuat kita galau. Bagi saya, kata “change” yang dikumandangkan para ahli manajemen dan futuris mulai terdengar basi. Baru saja merencanakan action, perubahan, lapangan dan pasar seakan belut, licin dan sudah berubah lagi. Tak bisa menghindar, kita memang sudah beranggapan dengan hal – hal tak terduga.
Dalam situasi serba tak terprediksi, bahkan kekacauan yang mengerikan begini, bisakah dan bagaimanakah kita bisa bersikap positif pada dunia kehidupan kita ?
Be “Present”
Kata “present”, berarti “hadiah” dan juga berarti “saat ini”. Seorang ahli time management mengatakan bahwa “being present” ( keberadaan kita saat ini ) adalah “present” ( hadiah ) terbesar dalam hidup kita. “Being present” berarti realistis dan sadar apa yang ada di hadapan kita, menghargai dan memanfaatkan semua resources yang kita miliki. Being present atau “live your life”, adalah nasihat Richard Branson, pemilik Virgin Group pada putra – putrinya ketika ia tengah menghadapi maut, agar mereka menghayati betul kehidupan yang tengah dilalui sekarang, tidak menyesali masa lalu dan tidak kuatir akan masa depan. Tidak pelak lagi, inilah pilihan sikap yang paling sehat dalam menghadapi hidup ini.
Memiliki sikap “being present” memang mudah dikatakan, tetapi tidak mudah dilakukan. Berapa sering pikiran kita melayang dan tidak konsen bila sedang rapat, mengikuti pelatihan, menghadapi klien bahkan menghadapi anak sendiri ? Kita sangat sadar bahwa orang yang paling penting adalah orang dihadapan kita, tetapi berapa sering kita menerima panggilan telepon genggam ketika menghadapi orang secara bertatap muka ? Rasanya kita memang masih bisa lebih menghargai momen – momen yang sebenarnya sudh diberikan kepada kita dan lebih memanfaatkan sebaik –sebaiknya.
Kita dibutuhkan oleh Orang lain
Teman saya yang bermukim di Inggris, tiba – tiba mencari pekerjaan di Indonesia. Ketika saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa ia menemani ibunya, yang semakin meningkat percepatan “layu”-nya sepeninggal ayahnya. Keluarga, teman yang bahkan sudah lebih dekat daripada anggota keluarga, kolega yang bersusah – senang bersama kita adalah ‘kekuatan” bahkan “mistik” tersendiri yang membuat kita bisa lebih kokoh berdiri menghadapi kekacauan, badai serta cobaan. Kita sebenarnya bisa menghitung betapa beruntungnya kita bila masih ada teman, kakak, adik, suami, istri, anak atau tetangga yang bisa kita ajak merapatkan barisan ataupun “holding hands” di kala gundah. Sebaliknya kesadaran bahwa kita bisa member support mental kepada anggota keluarga lain, saudara, teman, tetangga, akan membuat kita mendapatkan kekuatan dan semangat menolong dobel karena keyakinan bahwa kita dibutuhkan.
Niat Baik adalah Fondasi
Dalam suatu pertemuan, saya mengajak para peserta yang hadir untuk mengungkap misi dan niat utama dalam bekerja dan dalam hidupnya.
Saya cukup terkejut karena ternyata sangat sedikit yang bisa dengan lantang menyebutkan niatnya. Entah karena malu, jarang melakukan introspeksi diri atau sekedar tidak ingin terbuka. Yang jelas, bila niat kita tidak terbaca, tidak jelas atau tidak dimengerti, maka gerak dan langkah kita pasti juga tidak jelas dan mengambang.
Niat seperti “ Saya ingin belajar terus sampai usia 70 tahun”, “Saya ingin anak buah saya sukses”, Saya ingin jadi orang tua yang baik, ketimbang jadi profesional yang sukses”, atau “Saya ingin berwirausaha bila tabungan saya cukup”, sebenarnya tidak perlu disembunyikan atau ditutup – tutupi. Asalkan niat kita lantang, lurus, bersih, dan tidak diwarnai dengan “vested interest” maka biasanya kita akan punya pengikut, mendapatkan kawan seperjuangan, bahkan bisa melihat persamaan arah dengan orang lain, perusahaan bahkan negara. Niat yang baik dan kuat bisa menjadi fondasi kita agar tetap berdiri bagai batu karang dalam hempasan ombak. Apalagi kalau kita betul – betul berniat untuk mencerdaskan, membersihkan dan membela lingkungan apalagi bangsa.
Jatuh, bangun, terpuruk, sukses, akan selalu kita alami sepanjang perjalanan hidup kita. Tapi masih ingatkah anda film getir Life is Beautiful ( La Vita é Bella ) karya sutradara dan aktor kondang Roberto Benigni ? kalau dalam keadaan terjepit, hampir terbunuh begitu, ia masih bisa melihat indahnya kehidupan, kita pun pastinya bisa menghadapi kompleksitas situasi dunia kita dengan sikap yang lebih optimis dan menghayati betapa berharganya hidup ini.
Just open your eyes and see that life is beautiful ( Roberto Benigni )
No comments:
Post a Comment