Ini adalah perbincangan sekaligus hasil pemikiran beberapa teman dan saya, sebuah community setengah gila yang suka membahas sesuatu secara santai, fun dan penuh canda. Bisa dibuat bahan referensi meski cuma sering lewat begitu saja, sebagai obrolan ringanpe lepas penat kala jeda waktu.
Topik yang pernah sempat memanas adalah kenapa sebagian perempuan Indonesia menganggap laki – laki bule lebih menarik daripada pria pribumi. Tentu, dari segi fisik memang mereka tampak lebih menarik. Tubuh tinggi ( rata – rata bule yang saya kenal memang bertinggi badan di atas 175 cm )dengan berat proporsional, mata berwarna – warni ( ada biru ; favorit cewek – cewek, ada yang hijau seperti zamrud, abu – abu dan coklat ; favorit saya …^^, ) berbicara dalam Bahasa Inggris yang baik dan benar, sedangkan laki – laki lokal cuma punya bola mata warna hitam dan beberapa dianugrahi kelebihan memiliki mata coklat yang eksotik.
Ada pendapat lain yang lumayan ilmiah, karena image kita terhadap mereka yang menganggap mereka sebagai makhluk superior ( baca : sempurna secara fisik, smart, romantis dan friendly ). Saya menganggap pendapat ini cukup masuk akal, karena sejarah menyebutkan selama hampir 350 tahun kita dijajah kompeni ( Belanda ) yang merupakan bule Eropa. Sehingga kita menganggap mereka makhluk Tuhan yang lebih cerdas dan menarik ( di mana – mana bangsa yang menjajah tentu lebih pinter daripada yang dijajah ,bukan ? ). Kalau ada teman yang tergila – gila dengan laki – laki Jepang itu juga karena bangsa kita pernah dijajah Jepang meski tak lama. Itu karena kita menanggap mereka superior, makhluk Tuhan paling seksi, gitu kali seperti lagunya Mulan Jameela..
Membandingkan pria lokal dengan laki – laki bule memang kadang seperti membandingkan kuda stallion yang tinggi besar dengan kuda poni yang biasa ditunggangi anak – anak.
Karena saya bekerja di sebuah perusahaan multinasional ( kebetulan ownernya adalah bule Eropa ) otomatis banyak ekspatriat yang dipekerjakan di sana. Saya iseng – iseng memetakan kepribadian mereka berdasarkan negara asalnya. Awalnya kebiasaan ini dianggap aneh, namun ketika saya pergi ke Jepang, ternyata saya bertemu seseorang yang memiliki kegemaran yang sama dengan saya. Maka acara ngobrol di restoran hotel saat sarapan pun jadi seru hingga nyaris lupa waktu ( namun toh, keesokan harinya ketika sekali lagi saya ketemu dia, obrolan separuh ndak mutu ini dilanjutkan kembali ). Tentu tujuan kami berbeda. Saya hanya iseng, sementara kenalan cewek Jepang saya tadi punya tujuan khusus, ingin menikah dengan pria Eropa. Saya mengerutkan dahi, kenapa dia tak mau menikah dengan orang sesama Jepang ? Ternyata jawabannya nyaris sama dengan perempuan negeri ini. Mereka mendambakan pria yang baik, friendly, smart, lebih terbuka dan romantis, sementara hal itu tak dia dapatkan bila dia menikah dengan pria Jepang. Tipikal laki – laki Asia yang tak disukai perempuan manapun, possesif, sok berkuasa, tak peduli, sedikit bebal dan menganggap perempuan seperti bawahan yang harus nurut right or wrong, bukan partner sejajar.
Namun ada salah satu kekurangan pria bule yang kadang membuat perempuan Asia enggan menikah dengan pria bule, ketakutan mereka akan komitmen jangka panjang alias pernikahan. Karena kebanyakan pria bule sangat mengagungkan cinta yang seringkali salah kaprah dengan nafsu, jadi kalau mereka sudah tidak ‘bernafsu’ dengan anda, maka siap – siap saja di depak. Kalaupun sampai menikah biasanya pernikahan itu tidak berlangsung lama. Saya mengacungkan jempol untuk pasangan yang bisa bertahan lama.
Menurut peta bikinan saya dan kenalan tadi, bule Eropa lebih cenderung santun, bersikap dewasa, deep thinking, smart, romantis, pandai membawa diri dan peduli ( baca : gentleman ). Sedangkan pria Amerika cenderung friendly, blak – blakan, ‘shallow alias dangkal’ ( istilah temen Jepang tadi ). Kalau mau having fun, memang lebih cocok dengan bule Amerika, namun kalau mendambakan suami, cari saja bule Eropa. Akhirnya dia menemukan pria Eropa idamannya,seorang laki – laki asal Holland, kabar terakhir darinya mereka telah menikah dan tinggal di Frankurt Jerman.
Laki – laki dari British Raya lebih bersikap aristokrat, saklek ( salah satunya di kantor saya juluki Satpol PP karena sangat perfeksionis, suka sekali menegur pekerja yang tidak rapi, ngemil di tempat kerja, datang terlambat meski cuma 2 – 3 menit atau area kerjanya kurang bersih – semuanya menurut standard dia seolah – olah dia sendiri tak pernah mangkir, padahal saya sering memergokinya main solitaire saat jam kerja ) dan selalu bersikap merendahkan orang Indonesia sebagai bangsa yang kasar, bodoh, temperamental dan tidak disiplin ( mungkin separuh benar, tapi kan ndak semua ).
Lalu ada bule Australia, yang untung saja dia selalu selamat dari serbuan pendemo anti Australia, seorang yang cukup smart dan friendly sebenarnya, juga peduli dengan anak buahnya namun kebiasaannya mengejek dan bicara kasar kadang – kadang bikin saya dongkol setengah mati.
Dulu ada seorang bule asal Brazil namun sempat tinggal di Amerika dan menjadi supervisor saya, Bahasa Inggris American nya bagus sekali, tidak seperti orang Brazil lain yang grammarnya sama kacaunya dengan saya. Di mata saya dia adalah makhluk Tuhan yang eksotik. Kulit, mata dan rambutnya coklat seperti orang Asia. Dia pintar, baik dan sangat toleran. Kebiasaan buruknya yang tak saya suka, dia cerewet sekali seperti perempuan dan perfeksionis, suka mencela meski dia telaten sekali bila mengajari saya hal – hal baru yang belum saya ketahui.
Mungkin tulisan ini ada sedikit guna buat para perempuan yang mendambakan pria bule, buat panduan lebih cocok dengan pria dari Negara mana. Namun tulisan ini hanya menjelaskan secara general, padahal sebenarnya sama seperti laki – laki pribumi, selalu ada pengecualian. Tidak semua laki – laki bule itu keturunan superior yang pintar dan sempurna, yang goblok, norak, sok jaim, sok imut dan pemabuk berat pun banyak, bahkan banyak diantaranya yang menganggap agama hanya sekedar formalitas, hanya sedikit yang benar – benar religius.
Sudah saatnya kita berhenti menganggap mereka superior, sebagai bangsa yang diberkahi dengan kesempurnaan, kekayaan dan lebih berkuasa dibandingkan dengan negara – negara berkembang seperti Indonesia. Karena apabila kita berhenti menganggap mereka superior maka mereka tidak akan lagi besar kepala. Justru kita harus menunjukkan bahwa kita pun mampu bekerja professional dan disiplin seperti mereka.
Buat saya, bule ataupun lokal bisa sama menariknya tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Kini pun, mulai banyak laki – laki Asia yang bersikap peduli, cerdas dan menganggap perempuan sebagai partner dan sahabat. Jadi kalau ada yang berpendapat pria bule lebih oke dan berkeinginan memperbaiki keturunan ( dan penghasilan hehehe ), ya silahkan saja, tidak ada yang salah, masing – masing pribadi bebas berpendapat. Karena bagi saya, pria yang menarik adalah bila dia religius, memiliki prospek, integritas dan loyalitas, baik bule maupun bukan.